Agus Manaji
“Puncak-puncak
puisi Islam klasik sebagian besar bertalian dengan tasawuf, terutama karena ia
ditulis oleh para sufi atau yang berkecenderungan sufistik dan punya hubungan
erat dengan tasawuf.”
(Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor)
Kita mudah bersepakat dengan pendapat Acep Zamzam Noor, tasawuf terbukti telah menyuguhkan sastra bermakna. Tak sekadar indah, sastra sufistik menawarkan alternatif spiritualisme di tengah kehidupan yang materialis dan hedonis. Tak Cuma ulama, para penyair juga penafsir ajaran agama. Para penyair, penghayat hidup, hadir sekaligus berjarak, di tengah (kehidupan) masyarakat.
Sastra
religious bernapaskan Islam dan sastra sufistik memiliki jejak panjang di
Indonesia. Meski mulai era 70-an, nyala sastra ini tampak lebih benderang,
bersama gagasan/temuan sastra lain yang muncul ketika itu, seperti puisi mbeling
dan puisi konkret. Seolah ikut merayakan “kemerdekaan” pasca polemik antara kelompok
manifest kebudayaan dan kelompok lembaga kebudayaan rakyat dengan realisme
sosialisme-nya yang terjadi pada tahun 60-an. Selain itu, karya-karya sastra
sufistik dari Taufik Ismail, Emha Ainun Nadib, Danarto, Kuntowijoyo, M Fudoli
Zaini, maupun Abdul Hadi W.M.
menjadi suara lain dari gemuruh pembangunan pemerintahan orde baru yang
berdampak pada ausnya spiritualitas.
Sedikit
perihal Abdul Hadi WM yang belum lama ini meninggalkan kita, beliau
berkontribusi besar mengenalkan kita kepada karya-karya sastra sufi dari Rumi,
Iqbal, Omar Khayyam, al Hujwiri, dan bahkan Faust Goethe. Puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” telah menjadi setetes embun bening dalam perpuisian kita. Bukunya
Sastra Sufi barangkali menjadi buku
kompilasi paling kaya dan telah menjadi klasik yang diterjemahkan dan disusun
secara serius oleh penulis Indonesia. Buku ini menghimpun puisi maupun prosa
dari sastrawan sufi, dari khazanah peradaban Islam baik luar negeri maupun
Indonesia. Terakhir, karyanya Tasawuf
yang Tertindas
yang diangkat dari disertasi Abdul Hadi W.M.
adalah tafsir paling kritis dan otoritatif hingga saat ini atas puisi dan
pemikiran Hamzah Fansuri.
Di tahun 90-an hingga 2000-an
sastra sufistik diteruskan generasi Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy, Hamdy
Salad, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Kuswaidie Syafie, dan Abdul Wachid BS, Bernando
J Sujibto. Gambaran periodisasi di atas sebetulnya tidak saklek atau
ketat mengingat jenis ini berumur panjang. Puisi-puisi bernapaskan Islam dan
sufistik terus ditulis, bahkan banyak nama dari era-era lampau itu masih
menulis hingga hari ini. Kita masih membaca karya-karya baru Emha Ainun Nadjib,
D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, hingga di hari-hari ini.
Sofyan RH. Zaid, penyair asal Madura, pulau yang sama melahirkan penyair ampuh seperti Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Jamal D Rahman, M. Faizi, Raedu Basha, dan Mahwi Air Tawar, baru saja menerbitkan Khalwat. Di bagian Pintu Buku, “Tasawuf, Filsafat, dan Puisi” Sofyan menceritakan sejarah hidup kepenyairannya. Sejak menempuh pendidikan tingkat SD, MTs, kemudian Pondok Pesantren Annuqayah, Sofyan sudah menunjukkan ketertarikan pada puisi, filsafat dan tawasuf. Ia menulis, “buku Khalwat sebagai buku puisi kedua setelah Pagar Kenabian (2015) ini, berisi sepilihan puisi yang mewakili perjalanan hidup saya tersebut.”
Struktur
dan Labirin Doa Pembuka
Pemilihan
judul Khalwat serta kata pengantar
yang sarat nuansa tasawuf membantu pembaca dalam memahami buku. Kata “khalwat”
atau “khalwah” merupakan salah satu istilah khas dalam khazanah tasawuf yang
bermakna penarikan diri dan penyendirian spiritual. Pada tahapan awal, laku
khalwat dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari gangguan-gangguan luar
yang berpotensi menyimpangkan seseorang dalam kontemplasi atas Nama-nama dan
Sifat-sifat Allah. Pada tahap selanjutnya, khalwat
dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati senantiasa hadir terus-menerus
bersama Allah di mana pun setiap saat. Pada titik
ini kemudian khalwat menjelma menjadi perbincangan mesra di relung kesadaran
seseorang dengan Allah. Syaikhul Akbar Ibnu Arabi menimbang penting khalwat hingga merasa
perlu menuliskan Rilalah al-Anwar fi maa
Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, sebuah panduan praktik menjalani
khalwat.
Sofyan
dengan pertimbangan terukur mengatur puisi-puisinya ke dalam 5 bagian seperti
struktur sebuah risalah tasawuf, yakni Mukadimah (1 puisi), Khalwat
Pertama (12 puisi), Khalwat Kedua (12 puisi), Khalwat Ketiga
(12 puisi), dan Khatimah (1 puisi). Demikian, kita mafhum Sofyan
menggunakan kata “mukadimah” dan “khatimah” yang telah terserap ke dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia, dan tidak memilih kata “pembukaan” dan
“penutupan” misalnya, demi menebalkan nuansa kitab klasik Islam.
Puisi pertama buku ini langsung membuat saya tertegun diam. Tiga bait saja, diksinya sederhana, bergema panjang dan membentangkan banyak hal. Terpaksa saya mengingat dan memanggil beberapa ingatan bacaan, dan sedikit tafsir.
DOA
PEMBUKA DIRI
maha
pemaksa
yang
pengasih
maha
penyiksa
yang
penyayang
aku bergantung
dan berlindung kepadamu
dari bujuk iblis yang terkutuk!
bahkan
mungkin
dari
diriku sendiri
dengan menangis
aku kini mengemis padamu:
apa
yang pernah diminta musa
tapi
kau berikan pada muhammad
2013-2024
Puisi “Doa Pembuka Diri”, pada bagian Mukadimah seolah berperan sebagai bacaan ta’awudz bagi seorang muslim yang akan mengaji Al-Qur’an. Melalui puisi ini Si Aku Penyair menyatakan pengakuan kehambaannya, memuja sekaligus menyadari Sifat-sifat Allah yang seolah bertentangan, tapi sesungguhnya saling melengkapi, dan kita bisa menyebutnya sebagai kesempurnaan: maha pemaksa/ yang pengasih/ maha penyiksa/ yang penyayang. Selanjutnya, pada bait kedua, Si Aku menyatakan kebergantungannya seraya memohon perlindungan Allah dari bujuk iblis yang terkutuk dan dari (nafsu) diri sendiri. Si Aku melanjutkan doanya pada bait ketiga, seraya menangis mengemis kepada Tuhan Apa yang pernah diminta Musa tapi kau berikan pada Muhammad.
Puisi
ini menggambarkan pengakuan posisi kehambaan insan di hadapan Allah. Lebih dari
perannya sebagaimana bacaan Ta’awudz,
penyebutan iblis di bait kedua, menurut saya, melengkapi kesadaran kehadiran
-dan kemudian tentu menentukan orientasi dan tujuan- manusia dalam hidup.
Bukankah soal penciptaan dan keunggulan manusia dalam Al Quran selalu
bersanding dengan kisah pengingkaran Iblis atas perintah Tuhan untuk bersujud
kepada manusia? Iblis kemudian meminta penangguhan pada Tuhan untuk hidup di
dunia, untuk menggoda dan menjerumuskan manusia agar mengingkari kebenaran dan
perintah Tuhan.
Bait
ketiga meneruskan doa sebelumnya, sekaligus menegaskan orientasi tujuan Si Aku
selaku manusia: apa yang pernah diminta
musa/ tapi kau berikan pada muhammad. Nabi Musa seorang nabi Istimewa,
salah seorang nabi ulul azmi, dihormati oleh umat Yahudi, pembebas Bani Israel
dari penindasan Firaun. Meski seorang nabi dan rasul, namun Nabi musa kerap
menunjukkan karakter yang manusiawi. Misal, ia mulanya menolak menyampaikan
risalah karena merasa lemah, tak fasih berbicara dan berdiplomasi. Ia pun
meminta Tuhan agar diberi seorang pembantu Nabi Musa Kalimullah sebagai juru
bicara. Kali lain, ia merasa sombong sebagai hamba Allah yang paling saleh,
hingga ditegur oleh Tuhan. Akhirnya, Musa harus berguru kepada hamba Allah
misterius anonym, mungkin bukan seorang nabi, dan kita mengenalnya sebagai
Khidir. Konon kata “khidir” bermakna hijau, menghidupkan. Demikian kemudian
Nabi Musa mengalami pencerahan.
Apa
yang dituturkan bait ketiga puisi ini bertalian dengan 2 peristiwa/kisah
penting kedua nabi yang tersebut. Frase pertama, Apa yang pernah diminta musa, merujuk kepada permintaan Nabi Musa
Agar Allah menampakkan diri agar Musa dapat melihatnya. Permintaan ini tidak
dikabulkan, Musa hanya menyaksikan gunung hancur luluh. Kisah ini tertuang
dalam surat al a’raf ayat143. Frase kedua, tapi
kau berikan pada Muhammad, bertalian dengan Peristiwa isra mi’raj,
peristiwa perjalanan Nabi Muhammad dalam satu malam dari kota Makkah ke kota
Yerusalem, dan kemudian Mi’raj naik ke langit, hingga ke Sidratul Muntaha.
Rasulullah kemudian bertemu Allah dan menerima perintah sholat 5 waktu. Menurut
salah sebuah hadits, semula perintah sholat berjumlah 50 waktu, tapi atas saran
Nabi Musa, yang dijumpai Rasulullah di langit bawah, Rasulullah menawarnya
hingga tersisa hanya 5 waktu saja. Peristiwa Isra Mi’raj tersurat dalam Al
Quran surat Al Isra ayat 1 dan An Najm ayat 13 – 18.
Bagi saya, puisi “Doa Pembuka Diri” begitu apik, dengan diksi sederhana namun terukur, mampu menyajikan lipatan-lipatan dan labirin makna dengan pas. Tidak kurang, tidak berlebih. Pengaturan komposisi baris-baris puisi yang memusat mengisyaratkan keseimbangan dan ketenangan batin. Pernyataan tersirat akan perjumpaan dengan Allah Sang Kekasih dalam khazanah tasawuf tentu menjadi tujuan. Dan demikian, puisi ini telah berhasil merangkum isi dan memberi arah pembacaan buku khalwat.
Khalwat Pertama: Munajat
Selayaknya
seorang muslim hendak mengaji, sehabis membaca ta’awudz, kemudian membaca
basmalah. Sofyan menempatkan puisi Bismillah! sebagai puisi pertama dari bagian
Khalwat Pertama. Di awali dengan menyatakan kefakiran diri, puisi ini kemudian
mengungkap kesadaran akan pentingnya tawakal manusia kepada Allah. Tampak pada
puisi ini ikhtiar Si Aku untuk menafikan, melawan egonya dan dirinya sendiri.
Ia berseru lirih, bawa ke mana kau
hendak/ tak akan aku berontak. Hidup adalah perjalanan yang disimbolkan
dengan sungai dan alirannya menuju ke segara/laut. Kaum sufi menghayati hidup,
melawan ego, dan menghidupkan kesadaran akan kedaifan sehingga mampu selaras
dengan kehendak Tuhan.
Bagi yang akrab dengan kitab klasik tasawuf semisal Risalatul Qusyairiyah, At Ta’aruf al Kalabadzi, Al Luma Abu Nashr As Sarraj, tentu
mafhum jika kaum sufi adalah penghayat agama yang original dan sahih. Konsep
tauhid, misalnya, dipahami secara khas oleh setiap sufi, dalam kata-kata mereka
sendiri sebagai buah dari pengalaman. Pendapat-pendapat tersebut sering tampak
beda bahkan bertentangan tapi sesungguhnya mengandung spririt (arti) yang sama
atau setidaknya beririsan satu sama lain. Dalam konteks inilah rasanya kita
lebih mudah membaca puisi Tasawuf III.
Diksi “sungai” kembali muncul pada puisi ini.
TASAWUF III
sungai terpanjang setelah nil
adalah rinduku
Annuqayah, 2007
Judul puisi dan
badan puisi berkait erat, satu kesatuan. Dengan diksi “sungai”, “nil”, dan
“rindu”, hanya 2 larik saja, Sofyan berhasil mendefinisikan ulang tasawuf dalam
relasi cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Sungai Nil, kita tahu, diakui
sebagai sungai terpanjang di dunia, dan bagi Penyair, rasa rindunya kepada
Kekasih menjadi sungai terpanjang berikutnya. Ada kerendahan hati di sini
dengan tidak menyebut “yang paling panjang”. Puisi ringkas ini juga
mengisyaratkan sebuah perjalanan panjang, disinggung pula dalam puisi Bismillah!, yang membutuhkan perjuangan mujahadah melawan hawa nafsu dan
pe-nafi-an diri.
Dengan pola
ungkap seperti puisi Tasawuf III,
puisi terakhir bagian Khalwat Pertama, berjudul Tuhan, hanya berisi 1 kata: tahan! Bagian
judul dengan bagian isi puisi seolah dua sisi dari sekeping mata uang logam.
Rima “han” menautkan judul dengan isi, kemudian menggemakannya dalam semesta
tafsir di benak pembaca. Bukankah Tuhan Mahasegalanya, Mahapengasih, Mahasuci,
dan seterusnya, sementara manusia betapapun memiliki tubuh sehat dan rasionalitas
yang kuat, dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata
tetap saja berlumur keterbatasan dan lumpur dosa. Kedaifan manusia, atau salik,
jatuh bangun, hadir dan tenggelam, dalam menempuh jalan panjang pencarian,
berhadapan dengan samudera kemahaan Tuhan, tak ayal membangkitkan perasaan
patah, gusar, sekaligus pasrah. Puisi Tuhan
seolah meringkas seluruh ikhtiar dan munajat dari 11 puisi lain di bagian
Khalwat Pertama. Dalam soal keringkasan puisi ini mengingatkan kita pada
puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Kalian”. Selengkapnya kita nikmati puisi Tuhan:
tahan!
2023
Khalwat Pertama, bagian pertama buku, menyajikan puisi-puisi intim, munajat perbincangan antara Sang Pencinta (Si Aku) dengan Sang Kekasih (Sang Khalik), kesaksian penghambaan, serta monolog perenungan diri. Khalwat pertama inilah yang selaras dengan definisi khalwat pada tahap awal, yakni penarikan diri dari (pergaulan) dan maslahat dunia.
Khalwat Kedua: Sendiri
Bersama
Khalwat Kedua,
bagian kedua buku ini, menampilkan 12 puisi dari tahap khalwat selanjutnya.
Pada tahap ini khalwat dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati
senantiasa hadir terus-menerus bersama Allah dimana pun setiap saat.
Puisi-puisi pada ruang ini tidak eksklusif, ada kehadiran orang lain, mungkin
kawan, semisal pada puisi “Pintar,
Tapi Tolol Seperti Gawai” dan puisi “Simulakrum”, atau ada tokoh Gus Dur (?) seperti pada puisi “Songkem”.
Atau Ibu pada puisi “Bunda
Doa”.
Tempatnya pun bisa berbeda-beda, seperti sepanjang jalan, kafe, puncak,
tepi sungai Wilmington. Kita juga membaca waktu pagi yang hablur, siang hari atau kapan pun.
Ikhtiar untuk
hadir terus bersama Allah tidak mungkin tanpa hambatan seperti kita berkendara
di jalan tol. Kemajuan peradaban menawarkan aneka pilihan (semu) menggoda.
Silaturahim kepada tokoh spiritual/ulama bisa menjadi pelipur dan pengingat.
Hanya ruhani-ruhani sefrekuensi bisa bergetar dalam resonansi. Puisi “Songkem”,
yang tampaknya diperuntukkan buat Gus Dur, merekam hal ini. Penyair mencatat: ruhku pada ruhmu bersalam/ di antara riuh
orang-orang/ yang pura-pura mencari berkah.
Perenungan Sofyan atas fenomena kehadiran gawai menghenyak
kesadaran kita. Alih-alih berfungsi memudahkan kerja dan komunikasi manusia,
gawai dalam banyak kasus justru berakibat dehumanisasi, manusia kehilangan
focus dan orientasi. Pada puisi “Simulakrum” Penyair menggambarkan pertemuannya
dengan seorang kawan di sebuah kafe. Mereka saling kangen. Ironisnya pertemuan
itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan mungkin sia-sia karena kemudian
perpisahan terjadi begitu mereka asyik dengan gawai masing-masing. Kita cuplik
2 bait puisi ini:
beberapa
menit kemudian
perpisahan tiba lebih awal
sebelum lambai selamat tinggal
dan ikrar untuk bertemu lagi
saat tangan sam-sama meraih gawai
dan mulai saling abai!
Khalwat
Ketiga: Pulang
Bagian
Khalwat Ketiga, masih kelanjutan Khalwat Kedua. Pengenalan manusia akan
Tuhannya mensyaratkan pengenalan diri. Sebuah hadis masyhur di kalangan kaum
sufi berbunyi, man arafa nafsanu, arafa
rabbahu, siapa yang mengenal dirinya (akan) mengenal Tuhannya. Syaikh Imam
Abdullah Al Haddad menafsirkan hadis tersebut dengan mengaitkannya kepada Al
Fushilat ayat 53 yang berbunyi “Akan
Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala dan pada diri mereka
sendiri sehingga menjadi jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar”.
Jagat besar, alam semesta (makrokosmos) dan jagat alit, diri manusia
(mikrokosmos), bertaut serupa cermin satu sama lain. Mereka yang mengetahui
(kekurangan dan kelebihan) dirinya akan dapat mengenali Tuhannya saat
berhadapan dengan alam. Proses pengenalan diri setiap insan berbeda-beda, amat
personal.
Puisi-puisi
pada bagian ini menggambarkan proses penyair untuk pulang, melacak asal usul,
untuk kemudian menera ulang orientasi hidup, dalam bahasa Abdul Hadi W.M., “kembali akar, kembali sumber”. Akar
atau sumber tidaklah tunggal, dapat berupa filsafat, spiritualitas nilai agama,
tradisi, asal usul leluhur.
Filsafat
menjadi salah satu jazirah pencarian diri yang menggoda, tampak akan dapat
memuaskan akal rasional. Penyair Sofyan pun bergulat dengan filsafat, bertemu
Eric Fromm, Sartre, maupun Karl Marx. Sayang, tampaknya pencarian kurang
memuaskan. Dalam puisi “Alien”, si Aku mendapati kenyataan, kopi dalam gelas kemanusiaan tinggal ampas,
lalu Erich Fromm dan Sartre memanggilnya: “alien…
alien... alien…”. Akhirnya Sofyan insaf dan berseru: sebab akulah kesepian itu!
Pencarian
diri membawa penyair pulang kampung untuk menyaksikan bulan, tanda
kebesaran Allah di ufuk (ingat surat Al Fushilat ayat 53 tadi!). Bulan yang
sama disaksikan di perantauan sesungguhnya, tapi dari sudut berbeda, dari tanah
kelahiran, dekat hulu kehadiran, hingga tampak lain beda. Dalam puisi “Bulan Batang-Batang”,
Sofyan menemukan bulan yang putih perak
kemerahan cahayanya ternyata seperti
bibirmu berkilau memaksa orang-orang bersaman. Ikhwal tujuan penciptaan
manusia juga membawa penyair melakukan perenungan hari ‘alastu, hari perjanjian
primordial di alam ruh, di mana ruh manusia mengakui Tuhannya
sebagaimana tertuang dalam surat al A’raf ayat 172 (puisi “Alastu”).
Bagi kaum sufi, hari itu adalah hari persaksian bahwa Tuhan-lah Sang Kekasih.
Hari Alastu adalah “hari awal” sekaligus menjadi simbol
“hari akhir” pertemuan dengan Sang Kekasih di akhirat kelak.
Keluarga
menjadi rujukan manusia dalam mengenali diri. Jalan takdir kehadiran manusia di
dunia adalah hubungan cinta ayah dan ibu. Di sini, kasih sayang Tuhan mewujud
dalam kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka. Betapa penting peran dan
makna orang tua, khususnya Ibu. Seorang manusia sampai kapan pun tetaplah seorang anak dari Ibunya. Kasih sayang
dan pendidikan Ibu akan terus menjadi suluh dalam kehidupan seorang anak. Kita
simak petikan puisi “Dadaisme
Ibu”:
kemana pergi
sejauh menjadi
aku tetap kanakmu, ibu
dunia ini masih dadamu
dan segala waktu
adalah masa kecilku
Sekali lagi, puisi-puisi pada bagian Khalwat Ketiga, menggambarkan fase khalwat kedua, di mana manusia tak sekadar menarik diri, tapi berusaha memutus ikatan-ikatan keduniawian. Bukan memutusnya sama sekali, karena toh manusia harus hidup di tengah masyarakat, namun untuk menemukan nilai hidup. Demikian, manusia menepi sejenak, menjalin dan mengayam kembali simpul dan ikatan primordial.
Spirit puasa,
terutama di 10 hari akhir bulan Ramadhan, di mana
seorang muslim disarankan oleh Nabi untuk mengencangkan ikat pinggang dan
beri’tikaf, sejatinya sama dengan spirit khalwat. Lailatul Qadar atau malam
kemuliaan sesungguhnya karunia Tuhan atas hambanya yang terpilih, yang meronda
dan bersiap diri sepanjang hari dengan laku ibadah penghambaan penuh
penghayatan. Mereka yang sukses beribadah dan beri’tikaf, mereka yang berhasil
menjalani khalwat, sama-sama mendapat karunia Lailatul Qadar, yakni pencerahan
ruhani yang kelak menjadi spirit dan energi dalam kehidupan manusia
selanjutnya.
Puisi-puisi Sofyan RH Zaid tampak bening, buah dari perenungan hati yang jernih. Dengan diksi yang padat, beberapa tampil prismatik, menyuguhkan aneka warna dan lipatan tafsir. Sofyan RH. Zaid, lewat buku terbarunya, mengajak pembaca untuk berkhalwat lewat puisi. Tidak harus meninggalkan kehidupan sehari-hari, tapi dengan sedikit-sedikit memutus ketergantungan kita pada (kepalsuan) dunia, seraya mengaktifkan sensor hati demi merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan.
Demikian. Semoga.
Muntilan, 4 Mei 2024
Rujukan dan Bacaan
1: Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor, dalam Majalah
Horison no. 4, tahun XXXI, April 1997.
2: Buku esai Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, kumpulan esai Abdul Hadi WM,
penerbit pustaka firdaus, terutama pada esai berjudul sama dengan judul buku,
hal 3 -20, juga esai sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik
Kepengarangan di Indonesia, halaman 21- 41.
3: Sastra Sufi, Penyusun, Penyunting, Penerjemah Abdul Hadi WM,
Pustaka Firdaus, Juni 1996
4: Tasawuf yang Tertindas, diangkat dari disertasi Abdul Hadi WM,
Penerbit Paramadina
5: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Khazanah Istilah Sufi, Amatullah
Armstrong, penerbit Mizan, cetakan 1, Desember 1996
6 : Risalah Kemesraan, terjemahan atas kitab Rilalah al-Anwar fi maa Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, karya
Ibnu Arabi, bersi Indonesia, Penerbit Serambi, th 2005.
7 : Puisi Kalian, dalam buku O Amuk
Kapak, karya Sutardji Calzoum Bachri, Sinar Harapan, Cet pertama, th 1981,
halaman 98.
8 : Pemuas Kalbu, terjemahan atas Al Nafais al Ulwiyyah fi Al Masail al
Shufiyah, penerbit IIMaN dan Penerbit Hikmah, tahun 2003, hal 114 - 116