Mencuri Tuyul
Aliurridha
Sudah
satu bulan sejak
orang-orang di kampung itu
mengalami kehilangan uang. Uang yang hilang memang tidak banyak, hanya selembar
atau dua lembar sepuluh ribuan;
kadang dua puluh ribuan,
dan
tak pernah lebih besar dari itu. Hanya saja kehilangan itu terjadi terus
menerus, tanpa henti, setiap hari, dan nyaris setiap warga mengalaminya.
Awalnya mereka pikir mereka hanya khilaf atau sekadar lupa menaruh di mana.
Namun kejadian itu terus berulang, dan uang itu tidak juga ditemukan. Hal itu
membuat mereka mulai berpikir bahwa memang ada yang mencuri uang mereka.
Karena
kejadian itu, empat orang telah menjadi korban salah tangkap. Mereka digebuk
sampai nyaris mati karena disangka maling. Padahal keempatnya sama sekali bukan
maling, hanya
orang sial yang kebetulan mencurigakan. Setelah babak belur dihajar, barulah
diketahui bahwa korban pertama adalah pedagang barang bekas keliling; korban kedua adalah seorang pemulung; korban ketiga hanyalah orang yang numpang lewat; sedangkan korban terakhir cuma
seorang tua yang bahkan tidak ingat namanya sendiri.
Keributan
tidak berhenti di sana, banyak rumah tangga yang kemudian nyaris pecah kongsi
karena saling curiga. Nasip adalah satu dari sekian orang yang dicurigai istri
sendiri.
“Kamu
curi uang saya pakai judi lagi?” tuduh
Romlah pada Nasip di teras rumahnya.
“Mana saya pernah begitu,” balas Nasip.
“Kamu
sudah yang curi uang saya, ngaku saja! Pasti kamu pakai main bola adil lagi,
kan?”
Nasip terus saja membantah.
“Iya, mana dia berani Romlah,” timpal
Robok.
Saat
itu Robok sedang minum tuak bersama teman-temannya di gazebo depan rumah Nasip. Dodot, kawan Robok, yang baru pulang dari tanah
rantau mentraktir teman-temannya. Nasip juga ikut minum di
sana sebelum istrinya berteriak memanggil namanya.
“Eh,
anak setan.
Jangan ikut-ikutan kamu. Saya hantem
mukamu nanti!”
ancam Romlah.
Wajah
Robok langsung pucat karenanya.
“Kamu
sudah yang curi. Ayo ngaku!”
Romlah terus saja menuduh suaminya. Bahkan ia sampai merasa perlu
menunjuk-nunjuk wajah Nasip. Merasa tidak terima direndahkan di depan
teman-temannya, Nasip
mengumpat. “Dasar gembrot!” Mendengar
itu, Romlah
lebih tidak terima lagi, ia langsung menggampar Nasip. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Teman-teman Nasip
pura-pura tidak melihat. Pun dengan kondisi mabuk, mereka tetap takut pada
istri Nasip yang sebesar gajah dan seberingas harimau.
Romlah
memang terkenal galak. Nasip berkali-kali menjadi bulan-bulanan sumpah
serapahnya. Hari ini tidak hanya mulut Romlah yang merobek-robek harga diri
Nasip, kaki dan tangan pun jadi penyambung penderitaan. Bibir Nasip hampir
robek digampar Romlah, dan ia didorong
hingga tergelincir jatuh ke tanah depan teras rumahnya. Setelah puas, Romlah
meninggalkan tubuh kurus Nasip yang kini berkalang tanah.
“Nasip
... Nasip ... kok nasibmu sial betul?” kata Burak geleng-geleng kepala.
Dengan
tertatih-tatih, Nasip berjalan dan menyelipkan umpatan pada istrinya. Namun umpatan
itu teramat pelan.
“KDRT
nih,
ye,” ejek Cobok.
Nasip
memasang muka masam. Teman-temannya yang lain pun ikut nimbrung.
“Laporin
sudah ke polisi. Kalau nanti divisium, ini ada buktinya!” kata Robok menunjuk-nunjuk bagian tubuh Nasip yang lebam.
“Tidak dong. Yang begini sudah biasa. Saya bisa
balas, tapi saya tidak mau. Saya ini laki-laki; laki-laki tidak pukul perempuan,” kata Nasip
membela diri.
Teman-temannya
tertawa mendengar jawaban Nasip. Mereka tertawa karena tahu semua itu bohong belaka. Nasip selalu
takut pada istrinya. Nasip takut bukan karena istrinya galak, melainkan karena tanpa istrinya, Nasip tidak bisa hidup. Nasip
hanyalah seorang kuli panjat miskin.
Tanpa istrinya yang pandai mencari uang, ia tidak mungkin bisa bertahan. Nasip
tidak punya pengetahuan apa-apa untuk hidup di dunia, sedangkan Romlah adalah
seorang saudagar yang setiap harinya meminjamkan uang kepada mereka yang ingin
memulai usaha atau sekadar untuk kebutuhan rumah tangga, dan saat mereka
mengembalikan, orang-orang itu harus membayarnya dengan bunga. Orang-orang
menyebut Romlah rentenir. Romlah tidak suka itu, ia lebih senang disebut bank
berjalan, terdengar lebih dermawan.
“Kemarin
saya juga hampir diusir istri karena dituduh curi uangnya buat beli nomor,” kata Burak mengalihkan
pembicaraan.
“Ah,
iya di rumah saya juga begitu. Uang selalu hilang.”
“Kamu
kan memang tidak pernah pegang uang, Robok,” ejek Cobok.
“Tapi
benar juga kata Robok, akhir-akhir ini orang kampung banyak kehilangan uang,”
Dodot menengahi.
“Itu
kan karena kalian semua bodoh, minjem uang di Romlah.”
“Bajingan
Cobok, jangan bawa-bawa istri saya!”
kata Nasip marah.
“Santai.
Minum dulu.” Cobok memberikan segelas tuak pada Nasip.
“Betul
kata Dodot. Kalian tahu, sudah empat orang digebuk karena disangka maling.”
“Lima,
Pak Burak. Lima,” potong Cobok sambil menunjuk Nasip dan mereka pun tertawa. Nasip pun ikut tertawa.
***
Bagai
wabah yang menyebar tiada terbendung dan tiada diketahui penyebabnya,
kehilangan uang yang menimpa warga kampung juga tiada terbendung. Orang-orang
mulai saling tuduh, mereka menuduh tetangga mereka maling. Bahkan ada yang dicurigai sebagai
babi ngepet,
ada juga yang
dituduh memelihara tuyul. Keributan nyaris tak terhindarkan jika para tetua tak
segera turun tangan.
Para tetua memanggil orang pintar yang dianggap bisa jadi solusi. Mereka
memanggil Oplok, seorang yang pernah mengenyam bangku kuliah di kota, tetapi memilih tidak menyelesaikannya.
Ketika pulang ke kampungnya, Oplok bukannya bergelar sarjana pendidikan, malah bergelar orang pintar; lalu dengan gelar itu ia membuka praktik perdukunan.
“Jadi
apa benar cerita itu, setiap rumah kehilangan uang?” tanya Oplok kepada kepala
kampung.
“Iya.
Bapak bisa mulai dari rumahnya Nasip. Dia yang paling sering dituduh karena
uangnya tidak habis-habis,” saran kepala kampung.
***
“Enak
saja mereka tuduh
saya pelihara tuyul. Buat apa saya mencuri, uang saya banyak!” kata Romlah pada suaminya. Suara bariton Romlah menerobos
bilik-bilik kayu, menuju ruang tamu hingga tertangkap telinga Oplok. Lelaki itu sama sekali tidak marah,
ia dengan tenang menunggu tuan rumahnya keluar. Romlah tidak terima, ia tidak
mau menyambut tamunya. Bahkan untuk sekadar menghidangkan teh dan kue, ia tidak sudi.
Nasip
keluar dengan wajah masam. Ia
mengajak Oplok berbicara sambil jalan-jalan karena istrinya tidak berhenti sewot. Oplok tersenyum menyetujui
ajakannya. Nasip pun
menemani Oplok berkeliling kampung, mengunjungi rumah-rumah korban. Dalam perjalanannya, Nasib melihat
keempat temannya tengah minum-minum di pos ronda. Burak memanggilnya,
memintanya mampir. Nasip menolak. Dengan gagahnya ia berkata ada tugas negara.
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak, Nasip tidak peduli; ia terus saja
berjalan, membersamai Oplok mengunjungi rumah para korban.
Oplok berkeliling di seputar TKP, menyentuh
benda-benda, bertanya kepada korban-korbannya. Ia dengan serius mendengar
setiap penuturan korban dan mencatat setiap jawaban mereka dalam sebuah buku
catatan yang tidak lebih besar daripada bungkus rokok. Nasip memperhatikan
setiap tindakan Oplok sambil mengangguk-angguk.
“Berapa uang Ibu yang hilang?”
tanya Oplok.
“O, Banyak. Mungkin lebih
sepuluh juta.”
Oplok terkejut.
“Benar sepuluh juta?”
“Masak saya bohong.”
“Ini benar semalam hilangnya?”
Tuminah memiringkan kepalanya
sekitar lima kedipan mata sebelum mengangguk. Oplok baru saja berpikir ini
kasus besar yang belum pernah ia tangani sebelumnya. Itu sebelum si menantu
korban menyela.
“Maaf, Waq. Ini ibu mertua
saya sudah pikun. Uang tidak hilang sebanyak itu.”
“Pikun, pikun. Enak saja kamu
bilang aku pikun, Yun.” Wanita tua itu mendorong pelipis menantunya dengan
telunjuknya. “Kamu pasti kerja sama dengan perempuan gendut itu untuk habisin
uang saya.”
“Eh, Tua Bangka, jangan
sembarangan kamu tuduh-tuduh istri saya,” kata Nasip ikut campur.
“O, rupanya kamu yang bawa
orang ini. Sudah sana, saya tidak percaya kalian. Kalian bukan mau bantu saya.
Kalian pasti mau curi uang saya lagi.”
Tuminah mengusir Oplok dan
Nasip. Yuyun, menantunya, berkali-kali meminta maaf atas perlakukan kasar
mertuanya. Sudah beberapa tahun terakhir mertuanya kurang sehat ingatannya.
Wanita tua itu tidak lagi mengingat apa-apa yang baru saja ia kerjakan, ia
malah mengingat peristiwa-peristiwa yang sudah lama terjadi. Lalu dari Yuyun juga
Oplok tahu bahwa uang yang hilang hanya selembar dua puluh ribu. Namun
kehilangan itu terjadi berkali-kali. Nyaris setiap hari. Oplok kembali
mencatat. Nasip kembali menganguk-angguk.
***
Keesokan harinya, Nasip menemani lagi Oplok
mengunjungi rumah korban lainnya. Peristiwa itu terus berulang setiap hari. Dan
setiap mereka lewat pos ronda, Oplok melihat orang-orang di pos ronda selalu
sama. Oplok pun bertanya ke Nasip apakah orang-orang itu saja yang meronda.
“Kenapa tiba-tiba tanya itu,
Waq?” Nasib bertanya balik.
“Tidak tahu. Penasaran saja.
Saya dengar sejak banyak yang kehilangan uang para tetua meminta orang-orang
meronda, tapi kok saya lihat orangnya itu-itu saja.”
Nasip tertawa. Ia pun
menjelaskan tentang keempat kawannya. Burak, Cobok, Dodot, dan Robok sedang
tidak punya kerjaan. Karena tidak punya kerja, mereka minum tiap hari. Daripada
mereka minum-minum tidak jelas, para tetua mengangkat mereka jadi juru keamanan
kampung. Cukup sediakan tuak dan mereka akan datang. Kalau tuak yang diberikan
tetua habis, Dodot yang baru pulang merantau akan lanjut mentraktir
kawan-kawannya. Uang Dodot banyak.
Oplok mengangguk-angguk dan
kembali mencatat.
“Nasip. Mampir sini!” ajak
Robok.
Nasip menoleh ke arah gardu.
“Kalau kamu mau gabung, gabung
saja. Saya tinggal sedikit, kok.”
“Benar tidak apa, Waq?”
Oplok mengangguk.
“Tapi jangan bilang ke para
Tetua, ya. Nanti istri saya tahu.”
“Aman,” balas Oplok.
Nasip pun dengan girangnya
melangkah ke gardu, bergabung bersama kawan-kawannya.
“Jadi bagaimana perkembangan
penyelidikanmu, Pak Detektif?” tanya Cobok mengolok-olok.
Keempat sahabat itu kemudian
tertawa. Nasip diam saja, ia tidak mengerti di mana letak lucunya.
“Tapi benar. Penasaran kita.
Coba cerita dulu,” lanjut Robok.
“Sudah-sudah, biarkan kawan
kita ini minum dulu,” kata Dodot.
Burak pun menyerahkan segelas
cairan berwarna merah muda. Setelah Nasip meneguk habis minumannya, Dodot
memintanya cerita. Nasip menolak, ia berkata diminta menjaga rahasia sampai
penyelidikan selesai. Namun, setelah gelas demi gelas terus disodorkan oleh
Dodot, Nasip tidak bisa lagi menahan mulutnya.
“Kemungkinan besar pelakunya
tuyul,” kata Nasip.
“Tuyul!” ujar keempatnya
terperanjat.
“Iya, tuyul.”
“Aduh, mana ada tuyul di zaman
yang sudah maju kayak begini,” kata Burak.
Setelah itu Dodot menyodorkan
segelas minuman lagi untuk Nasip, yang tanpa menunda, langsung saja meneguknya.
Dalam awut-awutan pikirannya
yang diterpa badai tuak, Nasip memikirkan lagi percakapannya dengan Oplok
kemarin sore. Orang pintar itu berkata ada yang pelihara tuyul di kampungnya.
“Tuyul?
Siapa yang pelihara, Waq?”
“Saya
masih menyelidikinya!”
“Bagaimana Waq Oplok bisa tahu?”
“Kamu
pikir karena apa orang-orang menyebut saya orang pintar?”
“Karena
apa memangnya?”
“Karena
saya memang pintar,” jawab Oplok.
Nasip
bingung mendengar jawaban Oplok. Tetapi sebagai orang bodoh, ia terima saja apa yang dikatakan orang
pintar.
Seperti juga teman-temannya,
Nasip awalnya tidak percaya
kata-kata Oplok. Apalagi perkataan Oplok semakin aneh saja.
“Terus
apa yang akan Waq Oplok lakuin
sekarang?”
“Saya
akan curi tuyulnya.”
Nasip
terperangah.
“Pemiliknya sudah keterlaluan. Dia sudah melanggar hukum tak tertulis di dunia
kami.”
Nasip
sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan Oplok. Mendengar rencana mencuri
tuyul saja sudah membuatnya bingung, apa pula itu hukum tak tertulis dunia
mereka. Nasip pun mengutarakan keheranannya.
“Dalam
hukum tak tertulis di dunia kami, kami dibolehkan mencuri sedikit dari mereka
yang beruang, tetapi tidak mencuri dengan rakus dari orang miskin.”
“Terus
dari mana orang itu bisa dapat tuyul?”
“Bisa
jadi hasil diburu di hutan-hutan tak
berpenghuni, atau di tempat-tempat yang kamu pikir tidak pernah ada dan
berharap tidak pernah ke sana. Tapi ada juga tuyul yang dipelihara untuk
dijual.”
“Dipelihara!” Nasip lagi-lagi terkesiap.
“Kayak ternak?”
“Kurang lebih seperti itu.”
“Terus
siapa yang menjualnya?”
“Ya, dukun kapitalis.”
“Dukun kapitalis?”
“Iya.”
Nasip terkesiap mendengar kata kapitalis.
Kata yang terasa asing di telinganya. Sesekali ia pernah mendengar kata kapitalis dari TV atau obrolan warung kopi; tetapi tidak dengan dukun kapitalis. Makhluk apa
pula itu? Ia yang bodoh dan tidak
bisa membaca, semakin bingung mendengar penjelasan Oplok. Kemudian ia berpikir,
mungkinkah orang-orang kaya itu juga memelihara tuyul untuk mencuri uang?
Soalnya uang mereka kan tidak pernah habis. Tetapi dia kembali ragu, istrinya
cukup kaya, dan istrinya tidak pernah mencuri,
apalagi sampai memelihara tuyul. Nasip yakin akan hal itu, ia tidak pernah
melihat istrinya mencuri uang.
“Sebentar Waq. Saya mau tanya, apa
orang-orang kaya di kota sana, yang disebut kapitalis itu, juga melihara
tuyul untuk curi uang?”
“Oh, mereka itu tidak pelihara tuyul seperti yang dimiliki orang ini. Tuyul
mereka jauh lebih canggih. Tidak ada hukum, baik yang tertulis maupun tidak,
yang bisa melarang mereka mencuri uang. Tuyul mereka bebas mencuri uang, dan
hebatnya lagi, orang-orang tetap memuja mereka, bahkan bergantung pada mereka.”
“Siapa orang-orang ini?”
“Namanya Bank. Pernah dengar?”
Setelah
menceritakan percakapan dengan Oplok itu kepada teman-temannya, kepala Nasip
semakin pusing saja. Ia kembali meminta segelas tuak dari Dodot. Tetapi wajah
Dodot malah berubah pucat. (*)