Owlysh Fatmawati
Prahara Mahalini
Ramai-ramai
penduduk berdiri di sekitar balai. Habis pembagian sembako yang katanya dari
pemerintah, terjadi keributan usai wanita berdaster merah, berkerudung ungu
yang panjangnya hanya cukup menutupi setengah lengan yang telanjang, protes
akan kondisi beras buruk rupa yang dibagikan.
“Banyak
kutunya! Siapa yang mau makan nasi ekstra vitamin kutu?”
Kebetulan
sekali orang yang digadang-gadang memiliki andil dalam pembagian beras, minyak,
gula, teh, dan sarden kaleng masih berkacak pinggang di teras balai. Memasang
mimik nanar yang sedari tadi coba disembunyikan. Siapa yang tidak terpojokkan?
Niat hati berbagi dan memancing simpati, beralih menjadi tampungan serangan
sejumlah warga.
Sejenak Pak
Baron menoleh pada bawahannya. Diraba-raba, Pak Baron tengah melayangkan
tentangan serupa.
Siapa yang
tidak marah? Begitu mendengar namamu berada di baris paling depan daftar
penerima sembako, refleks saja antusiasme syukur merebak. Sisa lembaran uang
dalam dompet kain tak perlu dikikis, dapat kembali dihemat. Namun, pantaskah
bersorak pada beras berkutu dan beserdak?
“Bukan saya
tidak bersyukur, Pak. Tapi tolonglah diperhitungkan lebih dulu, kalau memang
dananya tidak cukup, beras diganti mi instan juga tidak apa. Jangan pula kami
dibagikan beras stok lama.”
“Betul, Pak.”
"Masalah
sarden yang sebentar lagi kedaluwarsa masih bisa diterima. Paling-paling malam
ini sudah habis."
Detik itu,
sebuah suara dari seorang gadis muda yang ukuran tubuhnya tidak menggambarkan
murid SMP mencuri perhatian. “Aduh, Pak. Masa mau menjabat sudah nunjukin
taringnya? Jangan terang-teranganlah, Pak.”
Secepat itu jua
dia menjadi pusat perhatian. Terutama oleh sosok yang dituju. Kerutan emosi
menumpuk, ekspresi marah tidak lagi disembunyikan.
“Minimal tunggu
berhasil duduk di kursi kebesaran. Kalau begini, bagaimana kami mau pilih
Bapak? Hari ini mungkin beras berkutu, enam bulan kemudian malah dikasih beras
bau dan berjamur. Sisa dari sisa.”
Mahalini
Saputri namanya. Kecil-kecil Cabai Rawit julukannya. Mungil, bersuara lantang,
berdirinya pun tegap nan kokoh di hadapan orang-orang yang tak sepantaran
usianya—pun tinggi badannya. Manis, kata orang. Menggemaskan, kalau kata
kakak-kakak KKN yang baru pulang sebulan lalu.
Sementara di
mata sasarannya ucapan Mahalini yang tidak jarang pedas nan menusuk, “Cih,
menyebalkan sekali bocah ini.”
Kira-kira,
untaian kata seperti itulah yang Pak Baron luapkan di batin. Kesal bukan main
dia direndahkan oleh gadis kecil yang berpenampilan bak bocah kelas enam, tanpa
tahu apa-apa mengenai halang rintangnya selama ini.
Kobaran api
berbinar di masing-masing manik Mahalini. “Mentang-mentang kami miskin, malah
ngasih sembako sekenanya asal ada. Yang diberantas itu tikus pengerat di gedung
bertingkat, bukan malah menindas yang melarat,” imbuhnya tak begitu cocok disebut
lirih.
Walau berbelas
warga di sekitarnya setuju, masih ada segelintir orang yang mendesak agar
Mahalini lekas mengunci mulut. Satu dan dua jari telunjuk terangkat di muka
bibir, membisikkan titah diam. Sekali dan dua mata berkedip, memberi kode agar
mengalah dan membiarkan yang berdiri di sana merasa puas barang sepintas.
“Bocah mana
ini? Kamu tidak diajarin Mamamu sopan santun? Masih kecil sudah berani sama
orang tua. Tahu apa kamu urusan beginian? Baru juga lahir kemarin sore.”
“Berarti saya
hebat, Pak. Baru lahir kemarin sore, sudah bisa jalan dan berbicara.” Mahalini
cengengesan. Tanpa didengar oleh orang lain dia menambahkan, “Dan juga, Mama
masih hidup kemarin kalau begitu.”
Dipaksa pulang,
Mahalini menurut saja. Dia tahu jika bertahan lebih lama lagi, gembok yang
sudah peyot itu akan pecah dan menyemburkan keruhnya emosi, yang mana akan kian
menjatuhkan harga diri si Tua Berpeci. Makin kacaulah keadaan, bisa-bisa gulung
tikar.
Mahalini tidak
peduli, tidak pula menyesali. Bukti menggembirakannya terpampang, setelah
melempar sedikit minyak pada kobaran api kemarin, tiga hari kemudian beras baru
yang bersih dan wangi datang menggantikan yang berkutu. Jumrah selaku bapak
Mahalini cengar-cengir menerima serahan dua karung beras sepuluh kilo. Lurah
yang memindah tangankan benih-benih hasil gilingan padi langsung tersebut
menyelipkan bisik, "Lain kali, tahan Mahalini supaya tak mengulang
kejadian kemarin, Pak. Yang lewat tadi mungkin berbuah manis, tapi kita tidak
tahu ke depan bisa senahas apa."
"Baik, Pak."
Selain mengiakan, mustahil Jumrah menolak. Bukan hanya karena lurah yang
berbicara, Jumrah mengakui dia sulit mengendalikan aktivitas hingga batas ucap
sang anak.
Sibuk kerja
mengumpulkan penopang hidup keduanya, berkurang satu peran orang tua pun menjadi
alasan. Istri tercinta Jumrah telah dibalut kain putih di bawah tanah enam
tahun lalu. Sampai sebesar ini, dia tak memiliki jalan lain selain sekadar
mewanti-wanti Mahalini dari rumah tepat sebelum pergi bekerja.
Lagi pula,
kendali tak sepenuhnya berada di tangan tambah-tambah sekadar titah. Meski
Mahalini darah dagingnya, anak itu memiliki aliran akal sendiri. Sekuat apa
Jumrah mencoba menentang, apa yang telah mengalir dalam nadi sulit tersapu
bersih.
Pernah sekali
Jumrah mendalamkan suara, urat menyembul dari balik kulit leher, tatap mata tak
ramah bagai biasa. Menjelang magrib, Jumrah memarahi Mahalini yang sudah
membuat Hajjah Romlah tersinggung bukan main atas sungutnya. Entah dari pelosok
dunia mana keberanian anak ini dipasok.
"Haram.
Haram," kata Mahalini kala itu.
Tepat di hari
ketiga kedatangan Hajjah Romlah dari perjalanan hajinya yang diumumkan mabrur,
Mahalini Justru berceletuk bila hasil perjalanan yang semestinya suci tersebut
berbuah haram.
Sudah menjadi
rahasia umum asal usul pemasukan Hajjah Romlah dan keluarga. Menjual minuman
keras, bangunan di samping rumah yang sering dijadikan tempat karaoke bebas,
indekos di pinggir kota yang merangkap sebagai lokasi kumpul kebo, sampai
desas-desus baru dari sumber terpercaya bila suaminya berbisnis jual beli
narkoba. Sungguh, tak satu pun didapatkan secara bersih. Atas hingga bawah sama
kadarnya.
"Haji
bukan ibadah perlombaan. Siapa cepat dia dapat surga. Bukan. Yang mampu, yang
ikhlas, yang ditunjuk Allah. Yang
menyelipkan sisi haram dialam tindakan suci tak semestinya
berbangga-bangga."
Tanpa menunggu
lama, Hajjah Romlah menyerocos panjang lebar. Pelik dia tidak menyelipkan tutur
merendahkan sosok Mahalini hingga anggota keluarga yang telah menutup usia.
Beberapa saat
sebelum azan berkumandang, Jumrah sempat bertanya apa yang sebenarnya memantik
keaktifan sang anak dalam mengkritik sejumlah orang tanpa kendali penuh.
Menatap
ekspresi murka Jumrah, Mahalini menjawab, "Kalau orang-orang sok paling
berkuasa itu tidak memulai, Lini tidak akan meladeni, Pak. Lini juga punya akal
kok, untuk sadar kalau mencari masalah itu memperkeruh hidup."
Mahalini
menarik napas. "Seandainya saja dulu Bu Karti tidak mempermainkan keluarga
kita, Lini tidak akan ikut campur urusannya. Iya tahu, Bu Karti yang paling
rajin memberi kita wadah berutang di warungnya. Tapi Bu Karti itu licik, Pak.
Hutang yang sudah dibayar, malah diomong-omongin menunggak sebulan, dilipat
gandakan, sampai ngomong di depan-depan Bapak. Padahal hutang kita paling besar
tiga ratus ribu, itupun sekali."
Jumrah tidak
tahu jikalau detik itu apa yang terkunci dalam hati juga pikiran sang anak akan
meledak. Selama ini dia tahu, Mahalini anak yang mudah melempar kata tajam,
paling enggan basa-basi sampah. Namun, mengenai luapan Mahalini sendiri, belum
pernah Jumrah temui.
"Dan untuk
Hajjah Romlah. Jujur, Pak, Lini paling malas terlibat segala urusannya. Biar
kita tak punya uang satu perak pun kalau cuman Hajjah Romlah tempat meminjam,
Lini rela melalap ilalang atau merebus batu. Tapi tadi Lini benar-benar tidak
tahan, Pak."
Mahalini
menarik napas dalam-dalam, kedua maniknya terasa panas, bendungan hampir roboh
jika tak cepat diperkokoh. "Hajjah Romlah habis merendahkan Bapak. Padahal
niat Lini cuman pengin lewat, malah omongannya makin dinyaringkan. Dia ikut
merendahkan Mama, Pak. Padahal Mama sudah tenang dari enam tahun lalu, kenapa
Mama pantas diolok, difitnah? Salah Mama apa sama dia, Pak? Sama semua
orang?"
Jumrah
termangu, kehabisan daya bahkan sekadar bergumam.
"Sampai-sampai
dia bilang kalau … kalau Bapak tidak lama lagi bakal menyusul Mama cuma karena
badan Bapak makin kurus. Memangnya kalau badan kurus sudah mau mati? Tidak,
'kan, Pak? Bapak tidak bakal mati, 'kan?"
Gagal sudah
upaya Mahalini untuk menahan rintik di pelupuk mata. Badan yang biasanya
berdiri tegap, dagu terangkat, manik berkilat, kini gentar. Kepala tertunduk
menyebabkan rambut pendeknya turun menutupi sisi kiri dan kanan wajah.
Puncaknya, Mahalini terduduk di lantai kayu rumah yang dilapisi karpet robek
dan bolong-bolong dan pola memudar.
Seremeh status
sosial, Mahalini dan Jumrah dan orang-orang setaranya seakan pantas sepantas
pantasnya ditindas, dilemparkan doa buruk yang tiada pernah diinginkan. Atau
sebenarnya status sosial memang memiliki kuasa sebesar itu? Seolah nyawamu tak
berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan uang lima puluh perak, barangkali
mereka berpihak pada uang logam itu.
Benar, kasta
yang masyarakat jualah sebagai penciptanya, memiliki magis tersendiri. Sekokoh
apa tameng yang Mahalini bangun, pada akhirnya magis mereka selalu memiliki
jalan pintas membawa serangan lain.
***
Jumrah
meletakkan dua karung beras wangi di dapur, dekat tempayan didudukkan.
"Apa-apa saja yang Lini pikirkan atau ingin lakukan, Bapak cuman berpesan,
ingat batasan. Jangan lupa kendali hanya ada padamu, Nak. Ketika kau sendiri
tak dapat mengendalikan diri, lantas siapa yang bisa?"
Mahalini yang
menuang air ke dalam gelas kaca bening diam mendengarkan.
"Masuk akal atau tidak, kita yang jelas-jelas tidak punya apa-apa tetap wajib sadar diri. Kalau-kalau ada masalah yang diciptakan tanpa sadar, karena lepas kendali, kita sama-sama tahu siapa yang kalah. Jadi, jaga-jaga saja, Nak."
***