Prahara Mahalini - Owlysh Fatmawati

@kontributor 6/02/2024

Owlysh Fatmawati

Prahara Mahalini

 




Ramai-ramai penduduk berdiri di sekitar balai. Habis pembagian sembako yang katanya dari pemerintah, terjadi keributan usai wanita berdaster merah, berkerudung ungu yang panjangnya hanya cukup menutupi setengah lengan yang telanjang, protes akan kondisi beras buruk rupa yang dibagikan.

“Banyak kutunya! Siapa yang mau makan nasi ekstra vitamin kutu?”

Kebetulan sekali orang yang digadang-gadang memiliki andil dalam pembagian beras, minyak, gula, teh, dan sarden kaleng masih berkacak pinggang di teras balai. Memasang mimik nanar yang sedari tadi coba disembunyikan. Siapa yang tidak terpojokkan? Niat hati berbagi dan memancing simpati, beralih menjadi tampungan serangan sejumlah warga.

Sejenak Pak Baron menoleh pada bawahannya. Diraba-raba, Pak Baron tengah melayangkan tentangan serupa.

Siapa yang tidak marah? Begitu mendengar namamu berada di baris paling depan daftar penerima sembako, refleks saja antusiasme syukur merebak. Sisa lembaran uang dalam dompet kain tak perlu dikikis, dapat kembali dihemat. Namun, pantaskah bersorak pada beras berkutu dan beserdak?

“Bukan saya tidak bersyukur, Pak. Tapi tolonglah diperhitungkan lebih dulu, kalau memang dananya tidak cukup, beras diganti mi instan juga tidak apa. Jangan pula kami dibagikan beras stok lama.”

“Betul, Pak.”

"Masalah sarden yang sebentar lagi kedaluwarsa masih bisa diterima. Paling-paling malam ini sudah habis."

Detik itu, sebuah suara dari seorang gadis muda yang ukuran tubuhnya tidak menggambarkan murid SMP mencuri perhatian. “Aduh, Pak. Masa mau menjabat sudah nunjukin taringnya? Jangan terang-teranganlah, Pak.”

Secepat itu jua dia menjadi pusat perhatian. Terutama oleh sosok yang dituju. Kerutan emosi menumpuk, ekspresi marah tidak lagi disembunyikan.

“Minimal tunggu berhasil duduk di kursi kebesaran. Kalau begini, bagaimana kami mau pilih Bapak? Hari ini mungkin beras berkutu, enam bulan kemudian malah dikasih beras bau dan berjamur. Sisa dari sisa.”

Mahalini Saputri namanya. Kecil-kecil Cabai Rawit julukannya. Mungil, bersuara lantang, berdirinya pun tegap nan kokoh di hadapan orang-orang yang tak sepantaran usianya—pun tinggi badannya. Manis, kata orang. Menggemaskan, kalau kata kakak-kakak KKN yang baru pulang sebulan lalu.

Sementara di mata sasarannya ucapan Mahalini yang tidak jarang pedas nan menusuk, “Cih, menyebalkan sekali bocah ini.”

Kira-kira, untaian kata seperti itulah yang Pak Baron luapkan di batin. Kesal bukan main dia direndahkan oleh gadis kecil yang berpenampilan bak bocah kelas enam, tanpa tahu apa-apa mengenai halang rintangnya selama ini.

Kobaran api berbinar di masing-masing manik Mahalini. “Mentang-mentang kami miskin, malah ngasih sembako sekenanya asal ada. Yang diberantas itu tikus pengerat di gedung bertingkat, bukan malah menindas yang melarat,” imbuhnya tak begitu cocok disebut lirih.

Walau berbelas warga di sekitarnya setuju, masih ada segelintir orang yang mendesak agar Mahalini lekas mengunci mulut. Satu dan dua jari telunjuk terangkat di muka bibir, membisikkan titah diam. Sekali dan dua mata berkedip, memberi kode agar mengalah dan membiarkan yang berdiri di sana merasa puas barang sepintas.

“Bocah mana ini? Kamu tidak diajarin Mamamu sopan santun? Masih kecil sudah berani sama orang tua. Tahu apa kamu urusan beginian? Baru juga lahir kemarin sore.”

“Berarti saya hebat, Pak. Baru lahir kemarin sore, sudah bisa jalan dan berbicara.” Mahalini cengengesan. Tanpa didengar oleh orang lain dia menambahkan, “Dan juga, Mama masih hidup kemarin kalau begitu.”

Dipaksa pulang, Mahalini menurut saja. Dia tahu jika bertahan lebih lama lagi, gembok yang sudah peyot itu akan pecah dan menyemburkan keruhnya emosi, yang mana akan kian menjatuhkan harga diri si Tua Berpeci. Makin kacaulah keadaan, bisa-bisa gulung tikar.

Mahalini tidak peduli, tidak pula menyesali. Bukti menggembirakannya terpampang, setelah melempar sedikit minyak pada kobaran api kemarin, tiga hari kemudian beras baru yang bersih dan wangi datang menggantikan yang berkutu. Jumrah selaku bapak Mahalini cengar-cengir menerima serahan dua karung beras sepuluh kilo. Lurah yang memindah tangankan benih-benih hasil gilingan padi langsung tersebut menyelipkan bisik, "Lain kali, tahan Mahalini supaya tak mengulang kejadian kemarin, Pak. Yang lewat tadi mungkin berbuah manis, tapi kita tidak tahu ke depan bisa senahas apa."

"Baik, Pak." Selain mengiakan, mustahil Jumrah menolak. Bukan hanya karena lurah yang berbicara, Jumrah mengakui dia sulit mengendalikan aktivitas hingga batas ucap sang anak.

Sibuk kerja mengumpulkan penopang hidup keduanya, berkurang satu peran orang tua pun menjadi alasan. Istri tercinta Jumrah telah dibalut kain putih di bawah tanah enam tahun lalu. Sampai sebesar ini, dia tak memiliki jalan lain selain sekadar mewanti-wanti Mahalini dari rumah tepat sebelum pergi bekerja.

Lagi pula, kendali tak sepenuhnya berada di tangan tambah-tambah sekadar titah. Meski Mahalini darah dagingnya, anak itu memiliki aliran akal sendiri. Sekuat apa Jumrah mencoba menentang, apa yang telah mengalir dalam nadi sulit tersapu bersih.

Pernah sekali Jumrah mendalamkan suara, urat menyembul dari balik kulit leher, tatap mata tak ramah bagai biasa. Menjelang magrib, Jumrah memarahi Mahalini yang sudah membuat Hajjah Romlah tersinggung bukan main atas sungutnya. Entah dari pelosok dunia mana keberanian anak ini dipasok.

"Haram. Haram," kata Mahalini kala itu.

Tepat di hari ketiga kedatangan Hajjah Romlah dari perjalanan hajinya yang diumumkan mabrur, Mahalini Justru berceletuk bila hasil perjalanan yang semestinya suci tersebut berbuah haram.

Sudah menjadi rahasia umum asal usul pemasukan Hajjah Romlah dan keluarga. Menjual minuman keras, bangunan di samping rumah yang sering dijadikan tempat karaoke bebas, indekos di pinggir kota yang merangkap sebagai lokasi kumpul kebo, sampai desas-desus baru dari sumber terpercaya bila suaminya berbisnis jual beli narkoba. Sungguh, tak satu pun didapatkan secara bersih. Atas hingga bawah sama kadarnya.

"Haji bukan ibadah perlombaan. Siapa cepat dia dapat surga. Bukan. Yang mampu, yang ikhlas, yang ditunjuk Allah. Yang  menyelipkan sisi haram dialam tindakan suci tak semestinya berbangga-bangga."

Tanpa menunggu lama, Hajjah Romlah menyerocos panjang lebar. Pelik dia tidak menyelipkan tutur merendahkan sosok Mahalini hingga anggota keluarga yang telah menutup usia.

Beberapa saat sebelum azan berkumandang, Jumrah sempat bertanya apa yang sebenarnya memantik keaktifan sang anak dalam mengkritik sejumlah orang tanpa kendali penuh.

Menatap ekspresi murka Jumrah, Mahalini menjawab, "Kalau orang-orang sok paling berkuasa itu tidak memulai, Lini tidak akan meladeni, Pak. Lini juga punya akal kok, untuk sadar kalau mencari masalah itu memperkeruh hidup."

Mahalini menarik napas. "Seandainya saja dulu Bu Karti tidak mempermainkan keluarga kita, Lini tidak akan ikut campur urusannya. Iya tahu, Bu Karti yang paling rajin memberi kita wadah berutang di warungnya. Tapi Bu Karti itu licik, Pak. Hutang yang sudah dibayar, malah diomong-omongin menunggak sebulan, dilipat gandakan, sampai ngomong di depan-depan Bapak. Padahal hutang kita paling besar tiga ratus ribu, itupun sekali."

Jumrah tidak tahu jikalau detik itu apa yang terkunci dalam hati juga pikiran sang anak akan meledak. Selama ini dia tahu, Mahalini anak yang mudah melempar kata tajam, paling enggan basa-basi sampah. Namun, mengenai luapan Mahalini sendiri, belum pernah Jumrah temui.

"Dan untuk Hajjah Romlah. Jujur, Pak, Lini paling malas terlibat segala urusannya. Biar kita tak punya uang satu perak pun kalau cuman Hajjah Romlah tempat meminjam, Lini rela melalap ilalang atau merebus batu. Tapi tadi Lini benar-benar tidak tahan, Pak."

Mahalini menarik napas dalam-dalam, kedua maniknya terasa panas, bendungan hampir roboh jika tak cepat diperkokoh. "Hajjah Romlah habis merendahkan Bapak. Padahal niat Lini cuman pengin lewat, malah omongannya makin dinyaringkan. Dia ikut merendahkan Mama, Pak. Padahal Mama sudah tenang dari enam tahun lalu, kenapa Mama pantas diolok, difitnah? Salah Mama apa sama dia, Pak? Sama semua orang?"

Jumrah termangu, kehabisan daya bahkan sekadar bergumam.

"Sampai-sampai dia bilang kalau … kalau Bapak tidak lama lagi bakal menyusul Mama cuma karena badan Bapak makin kurus. Memangnya kalau badan kurus sudah mau mati? Tidak, 'kan, Pak? Bapak tidak bakal mati, 'kan?"

Gagal sudah upaya Mahalini untuk menahan rintik di pelupuk mata. Badan yang biasanya berdiri tegap, dagu terangkat, manik berkilat, kini gentar. Kepala tertunduk menyebabkan rambut pendeknya turun menutupi sisi kiri dan kanan wajah. Puncaknya, Mahalini terduduk di lantai kayu rumah yang dilapisi karpet robek dan bolong-bolong dan pola memudar.

Seremeh status sosial, Mahalini dan Jumrah dan orang-orang setaranya seakan pantas sepantas pantasnya ditindas, dilemparkan doa buruk yang tiada pernah diinginkan. Atau sebenarnya status sosial memang memiliki kuasa sebesar itu? Seolah nyawamu tak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan uang lima puluh perak, barangkali mereka berpihak pada uang logam itu.

Benar, kasta yang masyarakat jualah sebagai penciptanya, memiliki magis tersendiri. Sekokoh apa tameng yang Mahalini bangun, pada akhirnya magis mereka selalu memiliki jalan pintas membawa serangan lain.

***

Jumrah meletakkan dua karung beras wangi di dapur, dekat tempayan didudukkan. "Apa-apa saja yang Lini pikirkan atau ingin lakukan, Bapak cuman berpesan, ingat batasan. Jangan lupa kendali hanya ada padamu, Nak. Ketika kau sendiri tak dapat mengendalikan diri, lantas siapa yang bisa?"

Mahalini yang menuang air ke dalam gelas kaca bening diam mendengarkan.

"Masuk akal atau tidak, kita yang jelas-jelas tidak punya apa-apa tetap wajib sadar diri. Kalau-kalau ada masalah yang diciptakan tanpa sadar, karena lepas kendali, kita sama-sama tahu siapa yang kalah. Jadi, jaga-jaga saja, Nak."

***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »