TERKINI

Antara -ku dan -mu - Suyat Aslah

@kontributor 5/05/2024

Antara -ku dan -mu

Suyat Aslah

 


Keyakinanku, terakhir kali aku membaca wajahmu waktu kau duduk di sebuah halte yang terletak di dekat perempatan jalan sekitar dua kilometer dari terminal kota Cilacap. Dua tahun sebelum halte itu dipugar lebih rapi. Waktu itu masih ada sebuah tiang lampu masih miring, pohon entah apa namanya berdiri kokoh di pinggir jalan, daunnya lebat memayungi atap halte yang sebagian telah lumat oleh waktu. Bulir hujan yang jatuh ke daun akan turun ke daun yang lebih rendah, begitu seterusnya sampai menaburkan tetesan air itu di atap halte. Ada juga yang lolos sampai ke kepalaku. Waktu itu kupikir ada alasan aku berpindah duduk lebih dekat denganmu, karena di situlah tempatmu lebih teduh.

Lalu kau mengubah arah posisi dudukmu menghadap hampir membelakangiku. Aku bermain tafsir waktu itu. Mungkin kau malu, atau bahkan terganggu. Tapi aku mencoba tak terlalu cepat pada kesimpulan. Saat sebuah bus melintas, pandangan matamu mengikuti ke mana arah kendaraan itu melaju. Dalam posisi seperti itu, aku sempat melihat tahi lalat kecil berdiam di bawah mata kirimu, sebelum pada akhirnya kau kembali hampir menghadap membelakangiku. Namun saat jeda makin panjang dan tak ada percakapan sama sekali, kupikir itu malah jadi terasa aneh dan makin menjaraki kita. Sebelum aku berucap tanya padamu, aku mencium segurat harum dari rambutmu.

“Ke mana tujuanmu?” tanyaku.

“Hanya menyusuri jalan ini, ke arah sana,” jawabmu sedikit berjeda sambil tanganmu menuding.

Gestur dan detonasi katamu cukup mendukung penafsiranku bahwa kau tak baik-baik saja. Sementara aku tak tahu harus berkata apa lagi. Dua jenak kemudian ponselku bergetar singkat, itu nada pesan masuk. Kubuka dan kubaca dalam hati.

“Dia bilang akan berangkat pukul tujuh.” Windy yang mengirim.

Aku tahu siapa yang dia maksud. Berangkat dari sebuah keresahanku, beberapa kalimat langsung mengalir dalam kepalaku, lalu jempolku melakukan tugasnya menekan-nekan layar ponselku.

“Seperti apa sorot matanya? Apa pandangannya termasuk jenis milik orang baik-baik?” balasku.

Lalu sambil menunggu balasan, bayangan tereka dalam kepalaku. Aku benar-benar tak tahu siapa perempuan yang akan kutemui di rumah Windy. Sementara Windy hanya pernah sekali bertemu perempuan itu. Perempuan yang ingin menemuiku hari ini. Lalu saat aku kembali mencium harum rambutmu karena angin berembus ke arah cuping hidungku, itu membuat perhatianku kembali padamu.

“Kau dari mana?” tanyaku lagi.

“Dari jalan yang penuh dengan mobil-mobil tamu undangan pernikahan, itu membuatnya macet,” jawabmu.

Aku manggut saja. Jalan Juanda sering kali macet saat gedung dengan pelataran luas disewa oleh orang berduit banyak untuk acara pernikahan. Gedung itu ada di belakang kita dan terpisahkan oleh jalur kereta. Lalu sebuah pesan masuk lagi ke ponselku dan kubaca dengan teliti dalam hati, “Kau akan terkejut nanti, dia sangat manis.”

Aku tak langsung membalasnya. Hingga pesan berikutnya masuk lagi ke ponselku “Perempuan itu mengaku suka membaca tulisan-tulisanmu. Bahkan dia mengatakan salah satu tulisanmu seolah sedang berbicara dengannya.”

“Kau tak tanyakan namanya?” balasku.

“Aku melupakan itu,” balasnya.

Aku menggeragapi tiap jengkal kamus ingatan dalam kepalaku. Tentang tiap wajah-wajah perempuan yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Namun tak ada yang kutemukan terkait perempuan itu. Bahkan aku sempat menganggap dia tidak benar-benar ada, hanya lelucon yang dibuat Windy belaka. Windy memang terkadang suka membuat lelucon yang bahkan sulit untuk diambil tawanya.

Tak lama kemudian kau beranjak dari dudukmu saat bus mendengus di depan kita duduk. Saat itu kuingat apa yang ada padamu: rambut hitam sepundak, rok panjang yang longgar, baju atasan berlengan panjang serta tas jinjing tak terlalu besar yang kaupegang.

Setelah itu aku tak melihatmu lagi. Windy terus menghubungiku dengan pesan-pesannya yang sesekali ada beberapa kata disingkat pendek. Lalu karena sibuk membalasi pesannya, aku mulai lupa padamu. Entah sampai mana sudah melaju dengan bus yang kautumpangi.

“Katanya kau pernah menuliskan dalam ceritamu, tubuhnya beraroma karpet basah.”

Pesan Windy kali ini membuatku membuka kembali lembaran masa lalu. Sementara aku punya kelemahan dalam hal ingatan. Apalagi sesuatu yang bertahun-tahun jauh di belakang. Seperti membongkari reruntuhan sejarah yang sebagian telah berjelaga.

“Ada lagi yang dia bilang?” tanyaku.

“Jaketnya berwarna hijau lumut dan rambutnya yang bau tergerai di belakang lehernya,” balas Windy.

Sebuah memori melintas dalam kepalaku. Tentang sosok perempuan pelintas zaman yang tak pernah kutahu arah dan tujuannya. Sendirian dengan segala pertengkaran dalam kepalanya. Teriakan demi teriakan keluar dari mulutnya di setiap tempat dan sepanjang jalan. Aku mengingatnya sekarang. Pernah menuliskan tentangnya, dan kunamai dia Amelia.

“Kau yakin dia baik-baik saja?” Tanyaku sedikit terbawa suasana yang baru.

“Ya. Tapi dia lebih banyak mendengarkan daripada bicara.” Windy masih terus menjawabi pertanyaanku.

Tiba-tiba muncul rasa entah yang cukup mengganggu pikiranku. Sudah pasti aku tak bisa menjelaskan seutuhnya tentang seseorang. Cerita yang kutulis bisa saja mengerat hatinya tanpa kutahu.

Lalu bus yang kutunggu, mendengus di depanku. Aku menaikinya sambil masih memegang ponsel di tanganku. Pikiranku juga tetap membayang tentang Amelia. Nama yang kuciptakan sendiri. Dan tak ada pesan dari Windy lagi hingga bus yang kutumpangi sampai ke jalan dekat stasiun Maos. Saat itu kulihat Windy berdiri di pinggir jalan sambil seperti memanjangkan lehernya melihat ke arah bus yang akan berhenti, kuyakin dia sedang menunggu kedatanganku. Kemudian dia benar-benar melihatku saat aku turun dari bus. Tampak dari raut wajahnya sangat antusias, seakan ingin segera memulai percakapan denganku.

“Kau kesulitan mendapatkan bus?” tanya Windy saat aku masih berjalan beberapa meter mendekatinya.

“Tidak juga. Hanya perlu menunggu sebentar,” jawabku.

Lalu kita berjalan kaki sekitar lima puluh meter melewati jalan setapak, dan terlihatlah tubuh bangunan yang didominasi dengan warna putih tulang. Windy mengajakku duduk di kursi depan rumah. Sambil menunggu perempuan itu datang, kita bercakap tentang apa saja, tapi topik utama tetaplah perempuan itu. Jika menimbang waktu, mungkin dia tak lama lagi bakal sampai.

Namun sampai cukup lama menunggu, seperti tak ada isyarat akan kedatangannya. Kita sempat berpikir mungkin dia salah jalan. Windy bilang perempuan itu tak punya ponsel atau apapun yang bisa dihubungi, bahkan Windy pun lupa untuk menanyakan alamat rumahnya.

Sebagai penulis, pikiranku terbiasa melayang ke mana-mana. Dia adalah Amelia yang dulu tak mengenali diri sendiri. Merayapi muka bumi yang penuh tatapan mata menghakimi. Pertemuan dengannya pertama kali saat kita menaiki bus yang sama. Dia memakai jaket berwarna hijau lumut dan sebuah rantai masih memborgol kakinya. Namun kali ini anganku beralih tiba-tiba, hinggap pada peristiwa di halte sebelumnya. Seorang perempuan dengan rambut hitam sepundak, rok panjang yang longgar, baju atasan berlengan panjang serta tas jinjing tak terlalu besar yang dia bawa. Dia menaiki bus entah tujuan mana. Lalu sebuah pertanyaan besar menggantung tiba-tiba dalam kepalaku. Sebelum aku menanyakannya pada Windy, dia lebih dulu mengatakan sesuatu.

“Dia benar-benar manis kautahu? Sebuah tahi lalat kecil berdiam di bawah matanya yang coklat basah,” katanya.*

Sewaktu Siang - Ilham Maulana

@kontributor 5/05/2024
Ilham Maulana 
Sewaktu Siang




Badan tersulut panas yang jalang
kipas menolak untuk menyala 
warung yang kautempuh hanya 
menjual gerah 
kubutuh rokok untuk mengisap bosan 
sebab kepulangan
menyisakan lengang, lumpur selokan 
rahang kemarau mengerkah lebar

Selepas santai di atas ranjang 
kita terjebak dan mulai tertawa 
sobekan tisu masih mengenang 
laba-laba memintal benang 
serangga terjebak di plafon kamar 
dan matahari di dalam kelambu 
mengawetkan keringat sekaligus waktu

2024

Bahasa: Penanda Eksistensi Manusia Sekaligus Perangkat Kuasa! - Tjahjono Widarmanto

@kontributor 5/05/2024

Bahasa: Penanda Eksistensi  Manusia Sekaligus  Perangkat Kuasa!

Tjahjono Widarmanto

 


Setiap orang bisa mendebat asalmuasal manusia dari berbagai kerangka pemikiran. Ada yang berteori muasal manusia bermula dari semacam kera yang berdiri tegak, lantas berkembang final menjadi homo sapiens. Ada yang yakin bahwa manusia sejak awal sudah sempurna dari stuktur fisikal dan kemampuan bernalar seperti manusia saat ini, sehingga tidak pernah mengalami proses evolusi. Ada pula yang percaya bahwa manusia adalah ‘perpanjangan Tuhan’ karena merupakan keturunan nabi yang terpilih, sehingga dari sononya sudah disabda kun dan tumbuh menjalani takdir sebagai yang terpilih dan tersempurna. Semua pendapat tersebut sah-sah saja, dan semuanya memiliki pembenaran dan argumen yang boleh saja menimbulkan kontroversi perdebatan.

            Yang mutlak dan tak bisa disangkal, bahwa manusia menempuh proses menjadi melalui kata, melalui bahasa. Tak terbantahkan bahwa manusia merancang, membentuk kebudayaan dan menyempurnakan peradabannya melalui kerumunan kata, melalui lorong bahasa. Manusia membangun peradaban dengan memberi penandaan semesta dengan pemaknaan-pemaknaan melalui kata dan bahasa.

            Sejak awal pun, sudut pandang religiusitas menunjukkan keterpautan manusia dan kata. Ayat pertama dalam kitab suci Islam menyebutkan istilah iqra yang jelas-jelas menunjukkan ‘keterbacaan’ sebagai pondasi dasar manusia dalam memahami isyarat-isyarat Tuhan yang tersebar di seluruh semesta, sekaligus untuk menyelami makna dan mengembangkannya sebagai bekal dalam menunaikan  tugasnya sebagai khalifah di semesta.

 

/Bahasa Ciri Eksistensi Manusia/

            Asal muasal dan eksintesisial suatu identitas kelompok manusia pun sering berpaut kuat dengan keberadaan bahasa. Misalnya, riwayat manusia Jawa mengisahkan keberadaan jati dirinya terangkum dalam deretan aksara hana caraka, data sawala, pada jayanya, maga bathanga, yang meriwayatkan cikal bakal manusia Jawa, bernama Aji Saka yang menaklukan raja lalim Dewata Cengkar. Aksara-aksara tersebut menjadi sarana bagi manusia Jawa untuk merumuskan identitas kesukuannya, sejarah, konsep hidup, jatidiri, cara pandang terhadap alam, serta  filosofi berikut pandangan spiritualnya. Kisah ini merupakan kenyataan tak terbantahkan bahwa melalui kata atau bahasa manusia merumuskan dirinya sekaligus berbenah untuk menempatkan diri menjalankan titah Tuhan sebagai khalifah.

            Kata dan bahasalah yang melucuti manusia dari belenggu kebodohan nalar bahkan pun dari kegelapan spiritual. Tak berkelebihan kalau kemudian Julia Kristeva dalam bukunya yang terbit di tahun 1981 berjudul Le Langege, cet inconnu (Dahana, 2009), menegaskan bahwa dengan bahasa, manusia menjadi sebuah gerak demistifikasi yang sempurna. Kata dan bahasa menjadi sebuah ruang yang tertutup sekaligus terbuka tempat manusia menghikmati dirinya. Jauh sebelum Kristeva, berpuluh tahun sebelumnya, melalui novel otobiografisnya berjudul Let Mots atau Kata-Kata (1964),  Jean Paul Satre sudah berujar dan mengaku bahwa menemukan dirinya, hidupnya dan segala ambigiutas makna yang berkelebat di seputar dirinya melalui kata-kata.

            Setiap kata menggendong pemikiran. Bahasa menjadi rumah bagi gagasan. Gagasan-gagasan yang dirancang manusia memberikan cita-cita hidup, kehidupan, kebudayaan dan membangun peradaban. Saat manusia menemukan aksara di 4000 SM, mereka memasuki kesadaran bahwa gerak kebudayaan untuk membentuk peradaban merupakan hasil transformasi sublimasi nalar ke dalam sublimasi komunikasi. Bahasa dan kata (yang tersimbolkan aksara) merupakan konstruksi pikiran dan gagasan manusia. Maka dalam sekejap nalar atau aqala menemukan sarang meditasinya yang menggairahkan. Tak sekedar itu, melalui bahasa, manusia bisa menyusun jejak-jejak pemikirannya, mencatatkan riwayat-riwayat pemikirannya yang menandai tiap dinamika peradaban melalui bahasa.

            Selanjutnya, bahasa menjadi sarana perlintasan pemikiran sekaligus menjadi perlintasan simpang siurnya adu kepentingan. Bahasa menjadi ajang bagi diskursus yang mewarnai kehidupan manusia, menjadi perangkat bagi penyusunan sejarah pencapaian manusia, menjadi prasasti selebrasi sekaligus perangkap keterjebakan manusia. Salah satu perangkat keterjebakan itu adalah politik dan kekuasaan.

 

/Bahasa Sebagai Perangkat Kuasa

            Ketika bahasa menjadi ekspresi nalar yang menawarkan berbagai kemungkinan ide, mau tak mau ia bisa menjadi sebuah alat kuasa. Bahasa dan kata-kata menjadi kuda tunggangan yang paling tepat bagi politik dan kekuasaan. Bahasa dan kata-kata menjadi piranti utama untuk memuluskan pencapaian kepentingan politik dan kekuasaan. Bahasa dan kata yang semula dikodratkan suci, di genggaman kepentingan politik dan kuasa bisa berubah menjadi alat yang menjijikkan. Maka bahasa pun menjelma menjadi dwimuka: berwajah malaikat sekaligus iblis!

            Saat politik dan kuasa menjadi pilihan yang mendominasi semua kiblat kehidupan manusia, maka kata dan bahasa menjadi piranti paling tangguh dalam konstelasi pertarungan dan perebutan kuasa. Kata dan bahasa menjadi alat paling canggih dan mematikan dalam pertarungan politik. Maka tak mengherankan seorang Cicero memutuskan eksodus dari Roma ke Yunani untuk mempertajam kemampuan retorikanya dan memberdayakan segenap potensi bahasanya menjadi alat yang ampuh dan mematikan untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya. Ia pun dengan penuh keyakinan berfatwa, “Tak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata (bahasa)!”

            Bahasa pun menjadi bagian dari kuasa. Politik bahasa mendapatkan ladang yang subur saat manusia benar-benar mengabdi menjadi hamba kepentingan politik. Tak hanya menjadi senjata untuk merebut perhatian publik namun menciptakan dominasi bagi manusia yang lain. Saat itulah kata-kata dan bahasa memasuki wilayah paling gelap dalam kebudayaan manusia yaitu hanya sebagai alat kekuasaan.

            Sungguh pun demikian, saat kata-kata dan bahasa terjebak dalam kungkungan kepentingan politik dan kuasa, ia masih menyimpan spiritnya yang suci dan mencerahkan. Dengan kodratnya yang suci dan mulia, kata-kata dan bahasa membangun ruang antitesis bagi politik dan kekuasaan. Perlawanan terhadap politik dan kuasa pun berjalan melalui bahasa. Salah satu wujudnya adalah membangkitkan kembali eksistensi manusia sebagai mahluk mulia melalui jalan sastra. Melalui sastralah dibangun kembali kualitas manusia, yang meminjam istilah Iqbal, sebagai insan kamil. Kualitas manusia yang tumbuh dengan karaktek kemanusiaan yang kuat yang pada gilirannya mampu melawan bahkan melumpuhkan dominasi politik dan kuasa dalam ruang kehidupannya. Melalui jalan sastralah, bahasa politik: siapa yang menang, siapa yang untung diubah dengan bahasa kebudayaan: di mana kebenarannya.

            Akhirnya, jangan meremehkan kata dan bahasa sebab kata-kata dan bahasa adalah rahim yang selalu melahirkan kesadaran baru bagi gerak kebudayaan manusia.

Gerbang Takdir - Nunung Noor El Niel

@kontributor 4/28/2024
Nunung Noor El Niel
Gerbang Takdir




wajah pucat membungkus rahasia kata-kata
di mana gairah tak lagi didesahkan 
hingga jelang pergantian musim
buku cerita hidup telah khatam
tak lagi beralmanak

katamu, 
"hanya orang kudus dan bersih hidupnya
boleh ke sana
pendosa tak boleh mendekatinya"

kusaksikan pohon perempuan tumbuh 
di halaman rumah puisimu
menjadi hasrat
yang basah 

kau dapat memetik dan menikmati
buah kedamaian, lebat dan abadi
di pekarangan eden

doa-doa dilantunkan
di antara air mata 
karam di lipatan 
waktu

pagi menjadi pelaminan duka
selamat jalan, Jokpin
kuantar kau
ke gerbang takdir

JKT 27 4 24

Berguru Puisi pada Jokpin - Emi Suy

@kontributor 4/28/2024
Berguru Puisi pada Jokpin
Emi Suy




Pertemuan Penuh Hikmah

Saya pertama kali jumpa penyair Joko Pinurbo -yang biasa akrab dipanggil Mas Jokpin- di Goethe Institut Jakarta dalam sebuah acara saya sastra pada tahun 2014. Pertemuan kami selanjutnya terjadi pada tahun-tahun berikutnya dalam banyak acara sastra, antara lain di Toeti Heraty Museum Cemara 6 Galeri, Perpustakaan Nasional, Bentara Budaya Jakarta, Gramedia Jakarta, Acara Ibadah Puisi di Pasar Seni Ancol, Yogyakarta Literary Festival, serta Kafe Basabasi Yogyakarta.

Saya selalu memaknai pertemuan itu sebagai pertemuan antara murid dan guru, di mana saya yang mendaku diri sebagai murid Mas Jokpin, meskipun beliau tidak pernah menganggap saya murid melainkan sahabat. Saya mendapat banyak pelajaran penuh hikmah baik soal sastra – terutama puisi – serta yang tidak kalah penting adalah pelajaran tentang kehidupan yang bermakna.

Mas Jokpin seorang penyair besar yang mempunyai kepribadian yang sangat rendah hati, humoris dan ramah, big name but low profile. Beliau tidak pilih kasih dalam memberikan dukungan kepada para penulis dan penyair, terutama penulis muda yang sering dianggap masih pemula. Semua diberikan semangat yang luar biasa sehingga mereka percaya diri dalam mengekspresikan pengalaman dan pengetahuannya ke dalam karya sastra. 

Saya sangat beruntung bisa berkomunikasi dengan Mas Jokpin secara langsung tentang apa saja. Tidak hanya melulu soal puisi, tapi juga kehidupan secara luas yang meliputi masalah sosial budaya bahkan politik. Beliau juga sempat memberikan prolog untuk dua buku kumpulan puisi saya: Alarm Sunyi (2017) dan Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (2022). Mas Jokpin mendedah buku Alarm Sunyi sebagai sunyi yang ambigu, dan menyampaikan bahwa ibu yang saya angkat dalam kumpulan puisi terbaru saya sebagai kampung halaman penyair. 

Saya merasa dekat sekali dengan Mas Jokpin lantaran saya begitu akrab dan menyukai karya beliau. Dekat tak hanya dalam konteks intens berkomunikasi, tetapi saya merasa dekat melalui membaca buku-buku beliau yang selalu mencerahkan pikir dan rasa. Setiap usai membaca buku Mas Jokpin saya selalu merasa makjleb. Kepiawaiannya merangkai diksi yang berasal dari benda-benda yang dekat dengan keseharian kita, seperti celana, telepon genggam, kamar mandi, tahi lalat, sarung dan lainnya, dengan sangat luar biasa dikisahkan kembali secara memikat. Tak sedikit puisi yang makjleb itu terkandung humor yang segar dan menggugah, mengajak kita masuk ke dalam relung pemaknaan yang dalam. Bagi saya membaca sajak-sajak Mas Jokpin tidak perlu mengernyitkan dahi sebab hampir semua tulisan beliau mudah dipahami dan selalu meresap di hati.

Beliau pernah bilang kepada saya: "Teruslah menulis dan produktif, Em", demikian pesan Mas jokpin pada suatu waktu. Kata-kata itu saya pegang sebagai “jimat” yang membangkitkan semangat dalam menggauli dunia sastra yang masih juga sepi dengan penulis perempuan.

Selain itu, Mas Jokpin juga sempat mengenalkan Ananda Sukarlan ke saya. Beliau menyarankan agar saya membangun kontak dengannya. Itulah titik mula, saya akhirnya kenal dan bekerja sama dengan Mas Ananda hingga sekarang, salah satunya menjadi librettist untuk opera: "I'm not for sale".
Ibadah Puisi Jokpin: Pelajaran Laku Puisi yang Tak Terlupakan

Ada satu hal yang menarik bagi saya, yaitu dalamnya penghayatan kehidupan puisi oleh Mas Jokpin yang menganggap laku sastra sebagai ibadah. Kata “ibadah” seakan membawa saya (mungkin juga kita semua) pada rasa tulus ikhlas dalam menjalani laku puisi yang sunyi ini, puisi yang selalu dianggap tidak dapat menghidupkan ekonomi penulisnya, tetapi membawa kedamaian batin dan ketenangan jiwa.

Banyak puisi Mas Jokpin yang mengulik tema persaudaraan, hubungan antar manusia, kesepian, sosial, budaya populer, kegembiraan kanak-kanak, imajinasi yang menggunakan benda-benda keseharian yang memiliki aspek luaran (kulit) dan dalaman (isi), dan kelucuan (humor) yang dibalut ironi terasa seperti tidak kehilangan jiwa kanak-kanak yang asyik bermain, tapi sekaligus membawa makna bagi orang dewasa yang mau merenungi kata-kata dalam kisah-kisahnya yang kadang agak ganjil tetapi riil. 

Ada beberapa poin yang saya catat ketika belajar puisi (secara diam-diam) dengan Mas Jokpin, di antaranya: Pertama, ambil objek kisah yang terdekat dengan kehidupan kita hari ini. Kedua, jangan berpikir yang jauh-jauh, seakan mau menciptakan surga untuk dunia nyata. Ketiga, membaca karya para penyair terdahulu, dengan mengusung tema yang serupa kita bisa melakukan pengungkapan secara berbeda dalam konteks masa kini. Keempat, kita harus memiliki kesadaran toleransi puisi, misalnya Chairil Anwar yang beragama Islam pernah menulis tentang Nabi Isa (dalam sajak Isa) dengan sangat dahsyat; Sitor Situmorang yang seorang Kristen pernah menulis Malam Lebaran yang berisi satu baris magis: bulan di atas kuburan. Subagio Sastrowardoyo pernah menulis Yesus Kristus yang lahir dengan putih wajah, serta Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentang penyaliban di Golgota dalam sajak Duka-Mu Abadi.

Tema puisi boleh sama dengan penulis terdahulu, tapi tulislah dengan pengungkapan yang berbeda, harus berbeda! Itulah kreativitas seorang penyair. Satu tema bisa menjadi berbagai bentuk dengan isi yang aneka macam. Kita bisa membandingkan gaya ungkap yang pernah digunakan para penyair sebelum kita, artinya kita tetap mengamalkan “tradisi puisi”; apa-apa yang sudah berlaku untuk puisi tetapi dengan cara melampauinya atau setidaknya melakukan inovasi dan transformasi atasnya. 

Intinya banyak membaca karya besar para penyair terdahulu, tetapi dengan melakukan pengucapan yang berbeda dan teknik yang sesuai dengan pengucapan sendiri. Meniru tetapi tidak mentah-mentah, tetap ada penambahan di sana-sini, gaya teknik yang kita ciptakan sendiri dengan dahsyat dan rasa yang dalam. 

Satu hal lagi ajaran Mas Jokpin yang tidak akan ssaya lupakan, yaitu rajin menabung, yaitu menabung kata, satu hal yang sering Mas Jokpin ulang-ulang. Seorang penyair harus mencatat kata-kata baru di setiap kesempatan, kemudian nanti diolah menjadi beberapa sub judul puisi. Itulah yang disebut menabung kata menurut Mas Jokpin. Kata adalah harta paling berharga bagi penyair, oleh karena itu mesti ditabung untuk masa depan.

Menulis ulang dengan cara yang berbeda juga dikerjakan oleh Mas Jokpin. Chairil Anwar menulis Nabi Isa dengan dahsyat, tapi Mas Jokpin melukiskan Yesus dengan cara yang lebih rileks pada tahun 2003, yaitu pada puisi Celana Ibu, yang ada di kumpulan puisinya yang pertama; Celana. Kumpulan puisi tersebut, terutama yang berjudul Celana sempat menuai kontroversi, tapi kemudian dapat diterima, bahkan menjadi lagu yang sering dinyanyikan pada saat Hari Natal dan Paskah. 

Puisi yang berat beban muatannya akan menemukan titik stagnan, begitu kata Mas Jokpin. Jika menemui hal demikian, puisi mesti dipecah menjadi beberapa bagian sub judul, kemudian dikembangkan lagi menjadi beberapa konsep. Setelah menjadi beberapa file puisi, puisi telah ada di ruang inkubasi, dan kita bisa kembali menengoknya untuk melakukan pendalaman dan editing hingga merampungkannya menjadi benar-benar puisi. Metode inilah yang akan memecahkan beban berat itu. 

Mas Jokpin juga menegaskan bahwa tema berbeda dengan perspektif, tema puisi sejak dulu banyak tentang cinta, maut, kehidupan, tetapi perspektif seorang penyair akan menentukan bagaimana bentuk dan isi puisi tersebut, serta bagaimana pengucapannya sangat ditentukan oleh pengetahuan kebahasaan seorang penyair (terutama yang menyangkut kelisanan).

Mas Jokpin juga menyinggung, kesulitan lainnya dalam menulis puisi adalah tidak percaya pada kata. Bahwa setiap kata sebenarnya punya kekuatan tersendiri. Kalau kita percaya pada kata, maka kita harus kejam dalam menggunakan dan memainkan diksi. Penyair harus berani memangkas jangan disayang-sayang, kata beliau. Percayalah setiap kata mengandung makna. Percaya kepada pembaca. Bahwa pembaca akan bisa menghayati makna tanpa harus kita menjelaskannya. Percayalah pada proses kreatif kita. Penyair harus efisien menggunakan logika terhadap tragedi, bermain ironi, dan mesti tajam melihat ke mana langkah kata pergi. Kesimpulan menulis selalu 25 persen, sisanya 75 persen adalah mengedit. Begitulah kerja menyair menurut Mas Jokpin.

Kabar yang Mendukakan: Mas Jokpin Berpulang, tapi Tak Ada Kata “Perpisahan”

Mas Jokpin telah menghasilkan kurang lebih 18 buku karya sastra. Buku yang paling banyak tentu saja buku puisi, sebab beliau tak lain tak bukan adalah penyair tulen. Saya sebagai murid yang tak pernah diakui beliau senantiasa belajar dari buku-bukunya itu. Setiap membacanya saya merasa didekatkan dengan suara beliau yang ringan tetapi mengesankan. 

Mas Jokpin selain sebagai guru adalah seorang penyair besar di jagat kesusastraan Indonesia, bahkan sampai negeri seberang, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan lainnya, beliau dikenal secara baik dan dihargai. Mas Jokpin penyair besar yang tak pernah merasa diri besar, beliau selalu rendah hati.

Suatu kali setelah menyerahkan buku Api Sunyi padanya, beliau mengirimi saya pesan:

Sunyi itu menjernihkan.
Sunyi itu menerangi.
Sunyi itu menyalakan kreativitas.
(Jokpin)

Pesan yang mengandung “sunyi” seakan membawa saya masuk ke relung batin dunia kepenyairan. Saya merasa sangat berterima kasih kepada Mas Jokpin atas dorongan semangat dan pelajaran yang berharga dalam setiap percakapan yang hangat. Terima kasih banyak, Mas Jokpin, sugeng tindak. Semoga tenang, damai dan bahagia di keabadian bersama-Nya. Mas Jokpin telah pergi dalam usia yang belum genap 62 tahun (11 Mei 1962 – 27 April 2024). 

Di satu wawancara dengan Bentara Budaya Yogyakarta, Mas Jokpin sempat mengutarakan alasannya kepada pewawancara ketika ditanya soal mengapa puisi-puisinya semakin pendek, beliau mengatakan, “Mungkin karena napas saya tidak panjang lagi seperti dulu.”

Mas Jokpin, penyair bertubuh kecil tapi adalah seorang penyair besar itu berpulang. Sabtu pagi, 27 April 2024, kabar duka itu datang menggedor dada saya dan dada kita semua. Banyak surat kabar memberitakan kepergiannya.

Mendengar kabar kau terbang ke bulan bukan mengambil baju lebaran,
tapi kau bertemu Tuhan. 

Saya membayangkan bulan berkata;

"di perak warnaku
aku melihatmu di peluk Tuhan -- tapi di bawah
di atas tanah yang kau pijak
ada bunga salip putih dan lilin menyala
di antara bingkai wajah puisi
mengantar kepergianmu
abadi"

Selamat jalan, penyair, kau boleh tiada, tapi puisimu abadi, hidup dalam hati kami. Selamat jalan, penyair, kini napasmu tak lagi sesak, kini tubuhmu terbebas dari rasa sakit. Kalau orang-orang mengenangmu sebagai penyair, aku mengenangmu sebagai sumber mata air puisi dari waktu ke pintu, aku mengenangmu sebagai guru, istirahatlah dengan damai dan tenang dalam kasih Tuhan. Kepergianmu ... duka milik kita, tapi cinta-Nya yang besar mendekapmu, damai.”

Aku bersunyi mengheningkan diri mengenangmu dalam doa dan puisi. Rasa kehilangan duka sedalam perasaan nyatanya ... sunyi di luar gaduh di dalam. Saya  sungguh merasa berhutang budi kepada Mas Jokpin, dan merasa kehilangan sosok beliau. Saya belajar menjahit kata-kata kepada Mas Jokpin. Saya membaca kehidupan dalam sajak-sajak beliau yang begitu dekat dengan keseharian. Hingga suatu hari, saya merenung lalu menyimpulkan, bahwa sebenarnya yang mengajari kita menjahit adalah luka, maka kita perlu berterima kasih pada kehidupan, pada ketiak baju mestak celana dan koyak di saku yang terkadang menumpahkan rasa dan perasaan.

Jika saya boleh meringkaskan Mas Jokpin dalam beberapa kata, maka kata-kata itu adalah: cerdas, kreatif, rendah hati, bersahabat, motivator, inspirator, guru, serta pembimbing atau mentor.

Selamat jalan, Mas Jokpin, selamat jalan Guruku..


Jalan Pulang - Rissa Churria

@kontributor 4/28/2024
Rissa Churria
Jalan Pulang




Kau sudah mangkat duluan
Aku susul kemudian
Sajak-sajakmu sudah purna
Baris-baris puisiku
masih di perjalanan

Kini air matamu sudah terbit di mataku
Tak lagi kudengar rintih sakit
Dan sengal napas berlarian

Kau telah sampai di perbatasan
Meski pilu merajah hari
Pada prasasti kesepian
Aku tanam kamboja 
Yang menyimpan segala pesan

Jakarta, 28.04.2024

Penyair Celana - Jusiman Dessirua

@kontributor 4/28/2024
Jusiman Dessirua
Penyair Celana 



setelah bergulat dengan tuhan di bukit kata-kata 
yang maha kuasa tak memberinya firman,
ia malah diberi ponsel, kaleng biskuit,
dan berlembar-lembar celana. 

karena heran dan bingung 
ingin dikemanakan benda-benda itu, 
suatu malam ia putuskan memasukkannya, 
ke dalam puisi dan denganya ia jadi penyair celana. 

sebagai penyair celana ia membuat orang
percaya, agar tak kedinginan, semua hal 
berhak mengenakan celana;
anak, ibu, juga bulan sekali-pun. 

puisinya membikin orang-orang percaya; 

bahwa bahasa Indonesia 
walau rumit, terkadang bisa 
lucu dan menggemaskan. 

bahwa yang baik 
akan senantiasa
berbiak. 

bahwa segala yang rumit
akan jadi mudah
dengan mudah-mudahan

bahwa semua orang 
bisa
naik ke sorga. 

setelah semua orang percaya
ia puun mengenakan celana Tuhan
dan naik ke sorga

SAJAK