TERKINI

Ia Begitu; Aku Begini - Ilham Wahyudi

@kontributor 5/19/2024
Ilham Wahyudi
Ia Begitu; Aku Begini




Bila kuturut gerak angin
Tiada yang sampai kepada ingin
Bagiku merah pekat setengah; 
baginya biru terang sebatang

Maka kuterima kesenjangan itu; 
kemiringan ini
Serupa sungai menderas kepada laut
Seperti tanah menampung hujan
menyerbu

(Ia begitu; aku begini)

Julur menjulur
Tak juga terbentur
Asyik terpekur
Menunggu masa ke liang kubur.

Akasia 11CT

Sarang dari Sarung - Hari Alfiyah

@kontributor 5/19/2024
Hari Alfiyah 
Sarang dari Sarung




zaman boleh saja tambah gaduh
dan cinta menjadi prasangka buruk
tetapi engkau tetap setia
mengartikan nama-nama
menafsirkan angka-angka
menolak kepurbaan kita.

zaman boleh saja tambah kacau
menyeret kita pada pertempuran
yang sebenarnya tidak kita inginkan,
yang membuat kita terdampar
di bibir getir takdir.

zaman boleh saja berganti
dan tak ada yang bisa bersembunyi
benar-benar tak ada tempat
untuk menyembunyikan diri
di tengah kehancuran yang terjadi
selain kepada sarung kita pulang
dan bersarang!

Annuqayah, 2024 M.

Kertas Gorengan - Muhammad Faisal Akbar

@kontributor 5/19/2024

Kertas Gorengan

Muhammad Faisal Akbar

 


Seorang mahasiswa tengah menenteng skripsi yang hendak ditunjukkan kepada orang tuanya. Setelah melewati fase revisi yang alot dan adu argumen yang bertele-tele dengan dosen penguji, pelajar itu lulus dengan nilai ala kadarnya. Malbari, sang mahasiswa yang meluapkan raut muka sekenanya, tak benar-benar mencintai karyanya itu lantaran isinya yang menggelikan. Tapi, mengingat bapak ibunya yang senantiasa menyuruh kawin, toh ia selesaikan juga agar bisa lekas berkarier dan menabung.

Semasa kuliah, Malbari mempunyai kebiasaan unik, yakni menghabiskan waktu di belakang perpustakaan kampus, lokasi di mana tumpukan kertas skripsi dikumpulkan sebelum dipindahkan ke tempat pembuangan sampah. Di situ, Malbari larut dalam kesenangannya mengais dan memilah kertas-kertas yang tidak lecek alias masih layak pakai. Meski terdengar muskil untuk dimengerti, Malbari sesungguhnya memiliki tujuan mulia: agar seluruh kertas skripsi yang hendak dibakar itu tetap dapat dimanfaatkan.

Maka dengan bantuan Bang Sambul, si tukang sampah kampus, Malbari menyebarkan kertas-kertas tersebut ke kawasan sekitar. Tiap dirinya menemukan kertas skripsi dengan kualitas tekstur yang mulus, tampak sekilas senyum lirih di bibir mahasiswa itu. Malbari bergumam, “Syukurlah. Bila memang isinya tak sebagus itu, paling tidak, skripsi-skripsi ini tak akan dibuang dan dibakar sebagaimana ribuan lainnya.”

***

“Menurut kalian, mana yang lebih dulu: perut atau peradaban?” tanya seorang mahasiswa senior kepada sekelompok juniornya. Carut-marut pun terjadi.

“Perut! Memangnya siapa yang bisa membangun peradaban dengan perut keroncongan?” Gelak tawa pun mengerubungi forum, “teori Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu berada di pucuk piramida hierarki kebutuhan.”

Lho, peradaban dulu dong,” bantah mahasiswa lain.

“Kenapa begitu? Tidak make sense….”

“Mengurus perut itu lebih mahal, bisa triliunan. Coba hitung, ada berapa BLT saat ini? Belum lagi penyediaan lapangan kerja. Untung-untung menteri perekonomian dan stafnya jago mengatur duit.”

“Bung, perut itu menyangkut kebutuhan dasar manusia. Kenyang dulu, baru bisa beradab!”

“Orang miskin, kan, sudah tahu adab tanpa perlu diajari. Jadi, peradaban mesti didahulukan.”

Idihalah, dasar komprador penyembah kapitalis!”

Arslim mendengar celotehan itu baru-baru ini, tepatnya ketika sedang mengantar tiga bungkus gorengan ke pelataran kampus. Tiap Jumat sore, para mahasiswa secara rutin menggelar kajian sembari duduk melingkar, berbincang-bincang serius dan sesekali bergurau. Tiap Jumat itu pula, Arslim nimbrung untuk menyimak. Hanya mengangguk-angguk, berlagak mengerti. Alasannya sederhana: ia ingin sekali mengenyam pendidikan tinggi.

Saking cekaknya wawasan Arslim, ketika ada mahasiswa yang menyebut nama seperti Proudhon atau Heidegger, yang timbul di benaknya adalah jenis tanaman langka. Ketika keluar istilah Watergate, Arslim malah membayangkan sebuah pompa air mahal impor yang berseliweran di iklan-iklan.

Maklum, sejak kecil, Arslim sudah dituntut untuk bekerja dan ilmunya mentok di jenjang SMP. Setelah itu, gedung sekolahnya adalah proyek pembangunan apartemen, tempat ia biasa mengaduk semen. Kendati demikian, Arslim tak patah arang dan tetap konsisten mengikuti kegiatan akademis ini. Mumpung ada pendidikan gratis, bisiknya dalam hati.

Selama ini, Arslim beberapa kali menghadiri diskusi dengan tema ekonomi, politik, seni, dan hukum. Dari semua itu, obrolan soal filsafatlah yang paling berbelit sekaligus mengasyikkan. Banyak yang bersangkut paut! Ini disambung ke situ, yang itu memanjang ke sini, yang di sana berkaitan dengan yang di sini, dan seterusnya. Ibarat tali-temali yang membujur, tak tahu di mana pangkalnya. Pokoknya, cukup untuk membuat Arslim betah melamun lama-lama.

Arslim memang gemar sekali melamun. Bila diadakan lomba melamun, dialah juaranya. Tokoh kita ini berprinsip bahwa lamunan itu tak terbatas. Akibat hobinya itu, para tetangga di kampung bahkan sanak saudara kerap menakut-nakutinya soal masa depan yang suram: karier abu-abu dan pasangan pun ogah dipinang. Kegiatan ini seakan-akan bergelimang dosa, apalagi jika dilakukan di perkotaan yang serbacepat. Intinya, sesuatu yang nirguna.

Tapi, apalah arti hujatan itu? Di sela-sela kesibukan, Arslim masih saja suka berdiam diri dan memandangi langit sore. Setiap hari tanpa jeda. Baginya, bengong saat petang menyambar langit adalah mukjizat yang tak mampu disangkal. Tatkala helm-helm berhamburan di sepanjang aspal dan burit dihabiskan sambil menatap lampu merah, Arslim justru menikmati angkasa yang bergulir dari biru ke merah, lalu menghitam. Murah, tapi tidak untuk semua kalangan.

Azan magrib berkumandang, dan Arslim masih menerka-nerka kata filsafat yang mondar-mandir di pelataran kampus itu. Ia berandai-andai, bukankah sudah seharusnya filsafat lebih sering terjun ke bawah dan menengok kehidupan jelata? Misalnya, dunia para tukang gorengan.

***

Arslim bersikeras bahwa gerobak gorengan tidak melulu melambangkan kemelaratan. Tanpa keraguan, jutaan gerobak yang terhampar di berbagai daerah telah menjadi saksi bisu atas beragam peristiwa: kisah asmara, tabrakan, pencopetan, demonstrasi dekat istana, sampai aksi terorisme. Benda ini juga tidak hanya menandakan harapan bagi orang pinggiran. Buktinya, gerobak reyot sekalipun sanggup menghidupi para konglomerat beserta kerabatnya apabila jumlahnya bejibun.

Bersama kotak besar beroda dua itu, Arslim kerap disambangi pejalan kaki, pengendara motor dan mobil, hingga para manusia silver serta badut jalanan yang tengah beristirahat mencari rezeki. Adakalanya sepasang debt collector bolak-balik membeli, untuk kemudian dimakan di tempat sambil minum es teh manis. Pernah juga ada orang asing yang meminta bantuan untuk menyelundupkan barang jadah untuk selanjutnya diambil orang asing yang lain. Serba-serbi aktivitas ini tak luput dari perhatiannya.

“Mas, beli 20 ribu ya. Dicampur saja, tahu isi, tempe dan molen,” tutur seorang perempuan. Arslim lantas menciduk rincian pesanan dengan sebuah food tongs yang gagangnya hampir berkarat.

“Bakwannya masih ada? Boleh deh bungkus 10 ribu. Rawitnya banyakkan, ya. Oh, boleh pinjam korek?” ucap pelanggan lain seraya mengeluarkan bungkus rokok.

Pembeli tak kunjung reda petang itu. Tapi, Arslim malah merasa gelisah. Kertas pembungkus gorengan mendekati penghabisan. Seribu celaka, umpatnya dalam hati. Ini adalah masalah. Sebab, berdasarkan pengakuan orang-orang, gorengan harus dilapisi kertas. Jika tidak, rasanya tak lagi sama.

“Eh Mas Arslim, saya beli 15 ribu, ye. Digabung saja semuanya kecuali gandasturi,” ujar lelaki yang singgah belakangan.

“Aduh, maaf, kertas pembungkusnya kosong. Belum ada lagi! Mau pakai kantong plastik saja?”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Lain kali mesti persiapanlah, Mas.”

Sang pelanggan pun pergi dengan wajah agak dongkol. Arslim membuka laci, menaruh uang, lalu merogoh ke bagian dalam. Bundelan kertas itu masih ada, dan memang sengaja ia amankan.

***

Melalui kenalannya, tukang sampah yang bekerja di kampus negeri seberang, Arslim biasa memperoleh tumpukan kertas bekas yang nantinya digunakan untuk menyerap minyak pada gorengan. Saking menumpuknya, ia terkadang boleh mencomot dan memilih sendiri. Adegan inilah yang sangat ditunggu-tunggu.

Tiap akhir semester, lazimnya sebelum liburan tiba, kertas dengan judul dan lambang kampus selalu Arslim simpan baik-baik di laci gerobak sebagai persediaan. Keterangan tahun penulisannya pun tertera rapi. Sebut saja dari 2015, 2016, 2017, 2018, terus sampai 2023. Puluhan skripsi yang selamat dari tong sampah besar itu memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai kertas gorengan. Dan kedua, sebagai bahan bacaan.

Skripsi-skripsi tebal lumayan banyak dijumpai. Arslim pernah melihat pembahasan soal perang fisik dan ideologi, penelitian mengenai hutan lindung, mazhab-mazhab abad belasan, serta komparasi gaji Ronaldo dan Messi. Bahkan, Arslim juga sempat mendapati skripsi perihal pedagang kaki lima yang menyelamatkan negara saat krisis ekonomi tahun 1998 pecah.

Di samping skripsi, Arslim kadangkala menemukan gundukan kertas berupa buletin berisi agitasi, berkas makalah, hingga Surat Keputusan Dekan yang terselip. Ada pula selebaran yang memuat hasutan untuk menurunkan rektor, kaderisasi berkedok ajakan seminar, sampai surat cinta berbasis teori Alexandre Dumas. Ia menganggap seluruhnya sebagai bonus belaka.

Akan tetapi, yang paling menarik justru datang kemarin siang, tepatnya ketika Arslim ikut membereskan kertas skripsi yang berserakan di belakang perpustakaan kampus bersama Bang Sambul, sebelum membawanya untuk stok kertas gorengan.

“Bang, kenapa baru sekarang saya diajak kemari?” tanya Arslim pada rekannya.

“Jadi begini, Slim. Bukannya gua gak mau ngajak lu. Selama ini, gua selalu dibantu satu mahasiswa untuk memilah-milah kertas ini. Nah, sekarang orangnya sudah lulus. Tapi dia berpesan: tumpukan kertas yang masih pantas digunakan harus terus dipertahankan, jangan sampai dibakar.”

“Mahasiswa itu sedang dihukum dosen? Atau memang dibayar?”

“Anaknya rajin minta ampun, suwer dah. Mau dihukum gimana? Dari tampangnya, sepertinya bukan orang susah.”

“Kalau baru saja lulus, berarti kertas skripsinya masih ada di sini dong, Bang?”

Hmmm, ada kok. Yang paling pojok itu, langsung angkut saja.”

***

Sembari menata gerobak, Arslim membaca skripsi kepunyaan Malbari, berjudul Data Kemiskinan dan Upaya Pengentasan Ketimpangan di Negara X Tahun 2019. Matanya bergerak dari huruf ke huruf, baris ke baris. Bab satu sampai tiga masih terbilang seru. Loncat ke bab empat, kepala Arslim seketika pusing kala angka-angka menyeruak dari segenap penjuru halaman. Renungannya menjelma getas sekaligus khidmat.

“Tingkat kemiskinan di Negara X yakni sebesar 6,01% dari seluruh wilayah....”

Arslim cepat-cepat melumat kopi, masih dengan kehampaan yang sama, kemudian menyalakan batang rokok. Lembar berikutnya makin membingungkan.

“Dari data yang dihimpun, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Negara X (Rasio Gini) pada September 2022 tercatat sebesar 0,217, menurun 0,003 poin dari Maret 2022 lalu….”

Arslim berkumur untuk membuang sisa tembakau yang menyelip di antara gigi yang menguning. Ternyata cuma ampas kopi yang memenuhi rongga mulut. Hawa kian panas. Serbet sebentar-sebentar ia kibaskan. Arslim tiba-tiba merindukan gerimis di kaki cakrawala. Hujan belum lagi turun.

“Jumlah penduduk miskin berkurang 1,22 juta orang menjadi 19,38 juta. Maka, berdasarkan teori yang diimplementasikan, pemerataan ekonomi akan terwujud dalam 2-3 tahun ke depan, dan….”

Bacaannya rampung. Arslim mengernyitkan dahi. Sebagai lulusan SMP, tulisan itu tentu terlampau berat. Oleh sebab itu, agar tidak salah paham, Arslim menelaah ulang.

“Woi, napa melongo gitu? Lagi baca apa, nih?” suara Bang Sambul—yang muncul entah dari mana—menggelegar di telinga.

“Oh, begini Bang, isi skripsi ini cukup aneh, khususnya di halaman 65. Disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara akan menempati posisi lima teratas di dunia. Kalau dibandingkan dengan situasi sekitar, saya cuma tahu bahwa beberapa pekan lalu, harga minyak, gas LPG, dan tepung terigu justru melambung.”

Heh, itu mah lumrah. Satu-satunya hal yang tidak melonjak itu, ya, penghasilan kita ini. Hohoho!”

“Nah, tengok ini, halaman 74. Jika kemiskinan betul-betul sudah diberantas, mustahil mantan kekasih saya rela menjual diri ke lintah darat demi melunasi utangnya yang menggunung, bukan?”

“Terkait pemberantasan ini, mending kita ngomongin Kali Brantas aja, lebih kentara juntrungannya!”

“Coba dengar dulu, Bang. Pada halaman 108, dijelaskan pula, ekonomi negeri ini akan lepas landas! Kalau ini benar, bapak saya semestinya tak lagi berpura-pura jadi dukun sakti untuk membayar tunggakan biaya pengobatan ibu.”

Bang Sambul menutup mulut rapat-rapat. Tangannya menepuk-nepuk pundak Arslim tanpa berkata-kata.

“Andai saja saya berpeluang menjadi dosen pembimbing, kertas-kertas ini sudah pasti dipenuhi goresan tinta merah,” sergah Arslim menyambung percakapan.

Lu ini mengada-ada. Ayo, bakar rokok lagi biar otak jernih.”

“Mana mungkin skripsi model gini lolos begitu saja ke ruang sidang dan meluluskan pengarangnya?”

“Pengarang? Maksud lu, skripsi ini karangan bebas, gitu?”

Bukaaan,” Arslim buru-buru menjumput spidol merah yang terletak di dalam saku. Bang Sambul mengamati gerak-gerik tukang gorengan kritis itu.

Untuk permulaan, Arslim menorehkan lingkaran pada judul dan membubuhkan komentar: Dapat dari mana datanya? Dasar pembual!

Langkah berikutnya, ia coret seluruh daftar pustaka di bagian akhir seraya menambahkan nasihat: Sumbernya sesumbar semua, harusnya diperiksa dulu!

Terakhir, Arslim yang sedari tadi merengut pun menyulap bab kesimpulan menjadi arena pelampiasan kekesalannya. Ia menulis persis di sebelah kanan kalimat penutup: Negara X itu ada di bumi bagian mana?

Bang Sambul menggeleng-gelengkan kepala, lalu memecah aksi brutal tersebut, “Di zaman edan ini, angka-angka, mah, emang bisa bohong. Jadi, gak usah dipikirin! Daripada dibuang, kertas-kertas itu toh ada manfaatnya, kan? Bisa dibaca atau dipakai buat ngebungkus gorengan lu.”

Arslim sepintas melirik kawan seperjuangannya itu dan merasa tidak enak hati atas perilakunya yang sembrono. Asap rokok menggumpal di sekeliling mereka.

Khalwat Puisi: Menjenguk Diri - Agus Manaji

@kontributor 5/19/2024

Khalwat Puisi: Menjenguk Diri

Agus Manaji

  


“Puncak-puncak puisi Islam klasik sebagian besar bertalian dengan tasawuf, terutama karena ia ditulis oleh para sufi atau yang berkecenderungan sufistik dan punya hubungan erat dengan tasawuf.”

(Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor)

 Kita mudah bersepakat dengan pendapat Acep Zamzam Noor, tasawuf terbukti telah menyuguhkan sastra bermakna. Tak sekadar indah, sastra sufistik menawarkan alternatif spiritualisme di tengah kehidupan yang materialis dan hedonis. Tak Cuma ulama, para penyair juga penafsir ajaran agama. Para penyair, penghayat hidup, hadir sekaligus berjarak, di tengah (kehidupan) masyarakat.

              Sastra religious bernapaskan Islam dan sastra sufistik memiliki jejak panjang di Indonesia. Meski mulai era 70-an, nyala sastra ini tampak lebih benderang, bersama gagasan/temuan sastra lain yang muncul ketika itu, seperti puisi mbeling dan puisi konkret. Seolah ikut merayakan “kemerdekaan” pasca polemik antara kelompok manifest kebudayaan dan kelompok lembaga kebudayaan rakyat dengan realisme sosialisme-nya yang terjadi pada tahun 60-an. Selain itu, karya-karya sastra sufistik dari Taufik Ismail, Emha Ainun Nadib, Danarto, Kuntowijoyo, M Fudoli Zaini, maupun Abdul Hadi W.M. menjadi suara lain dari gemuruh pembangunan pemerintahan orde baru yang berdampak pada ausnya spiritualitas.

              Sedikit perihal Abdul Hadi WM yang belum lama ini meninggalkan kita, beliau berkontribusi besar mengenalkan kita kepada karya-karya sastra sufi dari Rumi, Iqbal, Omar Khayyam, al Hujwiri, dan bahkan Faust Goethe. Puisinya Tuhan, Kita Begitu Dekat telah menjadi setetes embun bening dalam perpuisian kita. Bukunya Sastra Sufi barangkali menjadi buku kompilasi paling kaya dan telah menjadi klasik yang diterjemahkan dan disusun secara serius oleh penulis Indonesia. Buku ini menghimpun puisi maupun prosa dari sastrawan sufi, dari khazanah peradaban Islam baik luar negeri maupun Indonesia. Terakhir, karyanya Tasawuf yang Tertindas yang diangkat dari disertasi Abdul Hadi W.M. adalah tafsir paling kritis dan otoritatif hingga saat ini atas puisi dan pemikiran Hamzah Fansuri.

              Di tahun 90-an hingga 2000-an sastra sufistik diteruskan generasi Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy, Hamdy Salad, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Kuswaidie Syafie, dan Abdul Wachid BS, Bernando J Sujibto. Gambaran periodisasi di atas sebetulnya tidak saklek atau ketat mengingat jenis ini berumur panjang. Puisi-puisi bernapaskan Islam dan sufistik terus ditulis, bahkan banyak nama dari era-era lampau itu masih menulis hingga hari ini. Kita masih membaca karya-karya baru Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, hingga di hari-hari ini.

              Sofyan RH. Zaid, penyair asal Madura, pulau yang sama melahirkan penyair ampuh seperti Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Jamal D Rahman, M. Faizi, Raedu Basha, dan Mahwi Air Tawar, baru saja menerbitkan Khalwat. Di bagian Pintu Buku, Tasawuf, Filsafat, dan Puisi Sofyan menceritakan sejarah hidup kepenyairannya. Sejak menempuh pendidikan tingkat SD, MTs, kemudian Pondok Pesantren Annuqayah, Sofyan sudah menunjukkan ketertarikan pada puisi, filsafat dan tawasuf. Ia menulis, “buku Khalwat sebagai buku puisi kedua setelah Pagar Kenabian (2015) ini, berisi sepilihan puisi yang mewakili perjalanan hidup saya tersebut.”

Struktur dan Labirin Doa Pembuka

              Pemilihan judul Khalwat serta kata pengantar yang sarat nuansa tasawuf membantu pembaca dalam memahami buku. Kata “khalwat” atau “khalwah” merupakan salah satu istilah khas dalam khazanah tasawuf yang bermakna penarikan diri dan penyendirian spiritual. Pada tahapan awal, laku khalwat dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari gangguan-gangguan luar yang berpotensi menyimpangkan seseorang dalam kontemplasi atas Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Pada tahap selanjutnya, khalwat dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati senantiasa hadir terus-menerus bersama Allah di mana pun setiap saat. Pada titik ini kemudian khalwat menjelma menjadi perbincangan mesra di relung kesadaran seseorang dengan Allah. Syaikhul Akbar Ibnu Arabi menimbang penting khalwat hingga merasa perlu menuliskan Rilalah al-Anwar fi maa Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, sebuah panduan praktik menjalani khalwat.

              Sofyan dengan pertimbangan terukur mengatur puisi-puisinya ke dalam 5 bagian seperti struktur sebuah risalah tasawuf, yakni Mukadimah (1 puisi), Khalwat Pertama (12 puisi), Khalwat Kedua (12 puisi), Khalwat Ketiga (12 puisi), dan Khatimah (1 puisi). Demikian, kita mafhum Sofyan menggunakan kata “mukadimah” dan “khatimah” yang telah terserap ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, dan tidak memilih kata “pembukaan” dan “penutupan” misalnya, demi menebalkan nuansa kitab klasik Islam.

              Puisi pertama buku ini langsung membuat saya tertegun diam. Tiga bait saja, diksinya sederhana, bergema panjang dan membentangkan banyak hal. Terpaksa saya mengingat dan memanggil beberapa ingatan bacaan, dan sedikit tafsir.


DOA PEMBUKA DIRI

 

maha pemaksa

yang pengasih

maha penyiksa

yang penyayang

 

aku bergantung

dan berlindung kepadamu

dari bujuk iblis yang terkutuk!

bahkan mungkin

dari diriku sendiri

 

dengan menangis

aku kini mengemis padamu:

apa yang pernah diminta musa

tapi kau berikan pada muhammad

 

2013-2024

 

             Puisi Doa Pembuka Diri, pada bagian Mukadimah seolah berperan sebagai bacaan ta’awudz bagi seorang muslim yang akan mengaji Al-Qur’an. Melalui puisi ini Si Aku Penyair menyatakan pengakuan kehambaannya, memuja sekaligus menyadari Sifat-sifat Allah yang seolah bertentangan, tapi sesungguhnya saling melengkapi, dan kita bisa menyebutnya sebagai kesempurnaan: maha pemaksa/ yang pengasih/ maha penyiksa/ yang penyayang. Selanjutnya, pada bait kedua, Si Aku menyatakan kebergantungannya seraya memohon perlindungan Allah dari bujuk iblis yang terkutuk dan dari (nafsu) diri sendiri. Si Aku melanjutkan doanya pada bait ketiga, seraya menangis mengemis kepada Tuhan Apa yang pernah diminta Musa tapi kau berikan pada Muhammad.

              Puisi ini menggambarkan pengakuan posisi kehambaan insan di hadapan Allah. Lebih dari perannya sebagaimana bacaan Ta’awudz, penyebutan iblis di bait kedua, menurut saya, melengkapi kesadaran kehadiran -dan kemudian tentu menentukan orientasi dan tujuan- manusia dalam hidup. Bukankah soal penciptaan dan keunggulan manusia dalam Al Quran selalu bersanding dengan kisah pengingkaran Iblis atas perintah Tuhan untuk bersujud kepada manusia? Iblis kemudian meminta penangguhan pada Tuhan untuk hidup di dunia, untuk menggoda dan menjerumuskan manusia agar mengingkari kebenaran dan perintah Tuhan.

              Bait ketiga meneruskan doa sebelumnya, sekaligus menegaskan orientasi tujuan Si Aku selaku manusia: apa yang pernah diminta musa/ tapi kau berikan pada muhammad. Nabi Musa seorang nabi Istimewa, salah seorang nabi ulul azmi, dihormati oleh umat Yahudi, pembebas Bani Israel dari penindasan Firaun. Meski seorang nabi dan rasul, namun Nabi musa kerap menunjukkan karakter yang manusiawi. Misal, ia mulanya menolak menyampaikan risalah karena merasa lemah, tak fasih berbicara dan berdiplomasi. Ia pun meminta Tuhan agar diberi seorang pembantu Nabi Musa Kalimullah sebagai juru bicara. Kali lain, ia merasa sombong sebagai hamba Allah yang paling saleh, hingga ditegur oleh Tuhan. Akhirnya, Musa harus berguru kepada hamba Allah misterius anonym, mungkin bukan seorang nabi, dan kita mengenalnya sebagai Khidir. Konon kata “khidir” bermakna hijau, menghidupkan. Demikian kemudian Nabi Musa mengalami pencerahan.

              Apa yang dituturkan bait ketiga puisi ini bertalian dengan 2 peristiwa/kisah penting kedua nabi yang tersebut. Frase pertama, Apa yang pernah diminta musa, merujuk kepada permintaan Nabi Musa Agar Allah menampakkan diri agar Musa dapat melihatnya. Permintaan ini tidak dikabulkan, Musa hanya menyaksikan gunung hancur luluh. Kisah ini tertuang dalam surat al a’raf ayat143. Frase kedua, tapi kau berikan pada Muhammad, bertalian dengan Peristiwa isra mi’raj, peristiwa perjalanan Nabi Muhammad dalam satu malam dari kota Makkah ke kota Yerusalem, dan kemudian Mi’raj naik ke langit, hingga ke Sidratul Muntaha. Rasulullah kemudian bertemu Allah dan menerima perintah sholat 5 waktu. Menurut salah sebuah hadits, semula perintah sholat berjumlah 50 waktu, tapi atas saran Nabi Musa, yang dijumpai Rasulullah di langit bawah, Rasulullah menawarnya hingga tersisa hanya 5 waktu saja. Peristiwa Isra Mi’raj tersurat dalam Al Quran surat Al Isra ayat 1 dan An Najm ayat 13 – 18.

              Bagi saya, puisi Doa Pembuka Diri begitu apik, dengan diksi sederhana namun terukur, mampu menyajikan lipatan-lipatan dan labirin makna dengan pas. Tidak kurang, tidak berlebih. Pengaturan komposisi baris-baris puisi yang memusat mengisyaratkan keseimbangan dan ketenangan batin. Pernyataan tersirat akan perjumpaan dengan Allah Sang Kekasih dalam khazanah tasawuf tentu menjadi tujuan. Dan demikian, puisi ini telah berhasil merangkum isi dan memberi arah pembacaan buku khalwat.

 Khalwat Pertama: Munajat

            Selayaknya seorang muslim hendak mengaji, sehabis membaca ta’awudz, kemudian membaca basmalah. Sofyan menempatkan puisi Bismillah! sebagai puisi pertama dari bagian Khalwat Pertama. Di awali dengan menyatakan kefakiran diri, puisi ini kemudian mengungkap kesadaran akan pentingnya tawakal manusia kepada Allah. Tampak pada puisi ini ikhtiar Si Aku untuk menafikan, melawan egonya dan dirinya sendiri. Ia berseru lirih, bawa ke mana kau hendak/ tak akan aku berontak. Hidup adalah perjalanan yang disimbolkan dengan sungai dan alirannya menuju ke segara/laut. Kaum sufi menghayati hidup, melawan ego, dan menghidupkan kesadaran akan kedaifan sehingga mampu selaras dengan kehendak Tuhan.

Bagi yang akrab dengan kitab klasik tasawuf semisal Risalatul Qusyairiyah, At Ta’aruf al Kalabadzi, Al Luma Abu Nashr As Sarraj, tentu mafhum jika kaum sufi adalah penghayat agama yang original dan sahih. Konsep tauhid, misalnya, dipahami secara khas oleh setiap sufi, dalam kata-kata mereka sendiri sebagai buah dari pengalaman. Pendapat-pendapat tersebut sering tampak beda bahkan bertentangan tapi sesungguhnya mengandung spririt (arti) yang sama atau setidaknya beririsan satu sama lain. Dalam konteks inilah rasanya kita lebih mudah membaca puisi Tasawuf III. Diksi “sungai” kembali muncul pada puisi ini.

 

TASAWUF III

 

sungai terpanjang setelah nil

adalah rinduku

 

Annuqayah, 2007

 

            Judul puisi dan badan puisi berkait erat, satu kesatuan. Dengan diksi “sungai”, “nil”, dan “rindu”, hanya 2 larik saja, Sofyan berhasil mendefinisikan ulang tasawuf dalam relasi cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Sungai Nil, kita tahu, diakui sebagai sungai terpanjang di dunia, dan bagi Penyair, rasa rindunya kepada Kekasih menjadi sungai terpanjang berikutnya. Ada kerendahan hati di sini dengan tidak menyebut “yang paling panjang”. Puisi ringkas ini juga mengisyaratkan sebuah perjalanan panjang, disinggung pula dalam puisi Bismillah!, yang membutuhkan perjuangan mujahadah melawan hawa nafsu dan pe-nafi-an diri.

            Dengan pola ungkap seperti puisi Tasawuf III, puisi terakhir bagian Khalwat Pertama, berjudul Tuhan, hanya berisi 1 kata: tahan! Bagian judul dengan bagian isi puisi seolah dua sisi dari sekeping mata uang logam. Rima “han” menautkan judul dengan isi, kemudian menggemakannya dalam semesta tafsir di benak pembaca. Bukankah Tuhan Mahasegalanya, Mahapengasih, Mahasuci, dan seterusnya, sementara manusia betapapun memiliki tubuh sehat dan rasionalitas yang kuat, dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata tetap saja berlumur keterbatasan dan lumpur dosa. Kedaifan manusia, atau salik, jatuh bangun, hadir dan tenggelam, dalam menempuh jalan panjang pencarian, berhadapan dengan samudera kemahaan Tuhan, tak ayal membangkitkan perasaan patah, gusar, sekaligus pasrah. Puisi Tuhan seolah meringkas seluruh ikhtiar dan munajat dari 11 puisi lain di bagian Khalwat Pertama. Dalam soal keringkasan puisi ini mengingatkan kita pada puisi Sutardji Calzoum Bachri, Kalian. Selengkapnya kita nikmati puisi Tuhan:

 

                        TUHAN

 

                        tahan!


                       2023

 

Khalwat Pertama, bagian pertama buku, menyajikan puisi-puisi intim, munajat perbincangan antara Sang Pencinta (Si Aku) dengan Sang Kekasih (Sang Khalik), kesaksian penghambaan, serta monolog perenungan diri. Khalwat pertama inilah yang selaras dengan definisi khalwat pada tahap awal, yakni penarikan diri dari (pergaulan) dan maslahat dunia.

Khalwat Kedua: Sendiri Bersama

            Khalwat Kedua, bagian kedua buku ini, menampilkan 12 puisi dari tahap khalwat selanjutnya. Pada tahap ini khalwat dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati senantiasa hadir terus-menerus bersama Allah dimana pun setiap saat. Puisi-puisi pada ruang ini tidak eksklusif, ada kehadiran orang lain, mungkin kawan, semisal pada puisi Pintar, Tapi Tolol Seperti Gawai dan puisi Simulakrum, atau ada tokoh Gus Dur (?) seperti pada puisi Songkem. Atau Ibu pada puisi Bunda Doa. Tempatnya pun bisa berbeda-beda, seperti sepanjang jalan, kafe, puncak, tepi sungai Wilmington. Kita juga membaca waktu pagi yang hablur, siang hari atau kapan pun.

            Ikhtiar untuk hadir terus bersama Allah tidak mungkin tanpa hambatan seperti kita berkendara di jalan tol. Kemajuan peradaban menawarkan aneka pilihan (semu) menggoda. Silaturahim kepada tokoh spiritual/ulama bisa menjadi pelipur dan pengingat. Hanya ruhani-ruhani sefrekuensi bisa bergetar dalam resonansi. Puisi Songkem, yang tampaknya diperuntukkan buat Gus Dur, merekam hal ini. Penyair mencatat: ruhku pada ruhmu bersalam/ di antara riuh orang-orang/ yang pura-pura mencari berkah.

Perenungan Sofyan atas fenomena kehadiran gawai menghenyak kesadaran kita. Alih-alih berfungsi memudahkan kerja dan komunikasi manusia, gawai dalam banyak kasus justru berakibat dehumanisasi, manusia kehilangan focus dan orientasi. Pada puisi Simulakrum Penyair menggambarkan pertemuannya dengan seorang kawan di sebuah kafe. Mereka saling kangen. Ironisnya pertemuan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan mungkin sia-sia karena kemudian perpisahan terjadi begitu mereka asyik dengan gawai masing-masing. Kita cuplik 2 bait puisi ini:

 

                                   beberapa menit kemudian

perpisahan tiba lebih awal

sebelum lambai selamat tinggal

dan ikrar untuk bertemu lagi

 

saat tangan sam-sama meraih gawai

dan mulai saling abai!


Khalwat Ketiga: Pulang

              Bagian Khalwat Ketiga, masih kelanjutan Khalwat Kedua. Pengenalan manusia akan Tuhannya mensyaratkan pengenalan diri. Sebuah hadis masyhur di kalangan kaum sufi berbunyi, man arafa nafsanu, arafa rabbahu, siapa yang mengenal dirinya (akan) mengenal Tuhannya. Syaikh Imam Abdullah Al Haddad menafsirkan hadis tersebut dengan mengaitkannya kepada Al Fushilat ayat 53 yang berbunyi Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala dan pada diri mereka sendiri sehingga menjadi jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Jagat besar, alam semesta (makrokosmos) dan jagat alit, diri manusia (mikrokosmos), bertaut serupa cermin satu sama lain. Mereka yang mengetahui (kekurangan dan kelebihan) dirinya akan dapat mengenali Tuhannya saat berhadapan dengan alam. Proses pengenalan diri setiap insan berbeda-beda, amat personal.

              Puisi-puisi pada bagian ini menggambarkan proses penyair untuk pulang, melacak asal usul, untuk kemudian menera ulang orientasi hidup, dalam bahasa Abdul Hadi W.M., “kembali akar, kembali sumber”. Akar atau sumber tidaklah tunggal, dapat berupa filsafat, spiritualitas nilai agama, tradisi, asal usul leluhur.

              Filsafat menjadi salah satu jazirah pencarian diri yang menggoda, tampak akan dapat memuaskan akal rasional. Penyair Sofyan pun bergulat dengan filsafat, bertemu Eric Fromm, Sartre, maupun Karl Marx. Sayang, tampaknya pencarian kurang memuaskan. Dalam puisi Alien, si Aku mendapati kenyataan, kopi dalam gelas kemanusiaan tinggal ampas, lalu Erich Fromm dan Sartre memanggilnya: “alien… alien... alien…”. Akhirnya Sofyan insaf dan berseru: sebab akulah kesepian itu!

              Pencarian diri membawa penyair pulang kampung untuk menyaksikan bulan, tanda kebesaran Allah di ufuk (ingat surat Al Fushilat ayat 53 tadi!). Bulan yang sama disaksikan di perantauan sesungguhnya, tapi dari sudut berbeda, dari tanah kelahiran, dekat hulu kehadiran, hingga tampak lain beda. Dalam puisi Bulan Batang-Batang, Sofyan menemukan bulan yang putih perak kemerahan cahayanya ternyata seperti bibirmu berkilau memaksa orang-orang bersaman. Ikhwal tujuan penciptaan manusia juga membawa penyair melakukan perenungan hari ‘alastu, hari perjanjian primordial di alam ruh, di mana ruh manusia mengakui Tuhannya sebagaimana tertuang dalam surat al A’raf ayat 172 (puisi Alastu). Bagi kaum sufi, hari itu adalah hari persaksian bahwa Tuhan-lah Sang Kekasih. Hari Alastu adalah “hari awal” sekaligus menjadi simbol “hari akhir” pertemuan dengan Sang Kekasih di akhirat kelak.

              Keluarga menjadi rujukan manusia dalam mengenali diri. Jalan takdir kehadiran manusia di dunia adalah hubungan cinta ayah dan ibu. Di sini, kasih sayang Tuhan mewujud dalam kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka. Betapa penting peran dan makna orang tua, khususnya Ibu. Seorang manusia sampai kapan pun tetaplah seorang anak dari Ibunya. Kasih sayang dan pendidikan Ibu akan terus menjadi suluh dalam kehidupan seorang anak. Kita simak petikan puisi Dadaisme Ibu:

 

kemana pergi

sejauh menjadi

aku tetap kanakmu, ibu

 

dunia ini masih dadamu

dan segala waktu

adalah masa kecilku

             Sekali lagi, puisi-puisi pada bagian Khalwat Ketiga, menggambarkan fase khalwat kedua, di mana manusia tak sekadar menarik diri, tapi berusaha memutus ikatan-ikatan keduniawian. Bukan memutusnya sama sekali, karena toh manusia harus hidup di tengah masyarakat, namun untuk menemukan nilai hidup. Demikian, manusia menepi sejenak, menjalin dan mengayam kembali simpul dan ikatan primordial.

            Spirit puasa, terutama di 10 hari akhir bulan Ramadhan, di mana seorang muslim disarankan oleh Nabi untuk mengencangkan ikat pinggang dan beri’tikaf, sejatinya sama dengan spirit khalwat. Lailatul Qadar atau malam kemuliaan sesungguhnya karunia Tuhan atas hambanya yang terpilih, yang meronda dan bersiap diri sepanjang hari dengan laku ibadah penghambaan penuh penghayatan. Mereka yang sukses beribadah dan beri’tikaf, mereka yang berhasil menjalani khalwat, sama-sama mendapat karunia Lailatul Qadar, yakni pencerahan ruhani yang kelak menjadi spirit dan energi dalam kehidupan manusia selanjutnya.

            Puisi-puisi Sofyan RH Zaid tampak bening, buah dari perenungan hati yang jernih. Dengan diksi yang padat, beberapa tampil prismatik, menyuguhkan aneka warna dan lipatan tafsir. Sofyan RH. Zaid, lewat buku terbarunya, mengajak pembaca untuk berkhalwat lewat puisi. Tidak harus meninggalkan kehidupan sehari-hari, tapi dengan sedikit-sedikit memutus ketergantungan kita pada (kepalsuan) dunia, seraya mengaktifkan sensor hati demi merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan.

Demikian. Semoga.

Muntilan, 4 Mei 2024

 

Rujukan dan Bacaan

1: Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor, dalam Majalah Horison no. 4, tahun XXXI, April 1997.

2: Buku esai Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, kumpulan esai Abdul Hadi WM, penerbit pustaka firdaus, terutama pada esai berjudul sama dengan judul buku, hal 3 -20, juga esai sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia, halaman 21- 41.

3: Sastra Sufi, Penyusun, Penyunting, Penerjemah Abdul Hadi WM, Pustaka Firdaus, Juni 1996

4: Tasawuf yang Tertindas, diangkat dari disertasi Abdul Hadi WM, Penerbit Paramadina

5: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Khazanah Istilah Sufi, Amatullah Armstrong, penerbit Mizan, cetakan 1, Desember 1996

6 : Risalah Kemesraan, terjemahan atas kitab Rilalah al-Anwar fi maa Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, karya Ibnu Arabi, bersi Indonesia, Penerbit Serambi, th 2005.

7 : Puisi Kalian, dalam buku O Amuk Kapak, karya Sutardji Calzoum Bachri, Sinar Harapan, Cet pertama, th 1981, halaman 98.

8 : Pemuas Kalbu, terjemahan atas Al Nafais al Ulwiyyah fi Al Masail al Shufiyah, penerbit IIMaN dan Penerbit Hikmah, tahun 2003, hal 114 - 116

Kualasimpang - Raudal Tanjung Banua

@kontributor 5/12/2024
Raudal Tanjung Banua
Kualasimpang




Di seberang sungai Tamiang
Menanti Kualasimpang
Kota lama berdinding papan
Berderet sebagai toko dan rumah-rumah tua
Mengarah pasar; maka berdenyutlah ia
Sepanjang siang yang renta

Tapi, walau tiang-tiang mulai miring
Diperam waktu dan rawa-rawa, semua suara
hanyut dan terlupa
dalam arus tawar-menawar
dan tawa sahabat lama

Malamhari, toko-toko tutup pintu
Sampah dan lalat jadi seharum mawar
Dalam nafas yang sebentar

Sisa air hujan menitik satu-satu dari talang
Dan yang jatuh lebih dulu menggenang
Dalam selokan pinggir jalan

Bukan kepalang kuyup, jika aku terus berjalan 
Karena kutangkap sayup suara 
dan hempas batu domino berlaga
Di meja kayu, jauh, jauh, bagai ombak sekanak
Menghempas pantai remajaku

Kuikuti gemanya dari lorong ke lorong
Tapi selalu aku hanya bersua 
bayang-bayang diri sendiri
Memanjang lengang
ditimpa lampu-lampu sendu
Kualasimpang.

/2023

Tahun yang Ganjil - Arif Purnama Putra

@kontributor 5/12/2024
Arif Purnama Putra 
tahun yang ganjil




suatu tahun, mungkin tahun yang ganjil
orang-orang sibuk mencari angka genap
dari kesunyian
dari keterasingan

“cepat, rombongan pencari suaka datang!”
di jalan-jalan, para gerilyawan mencabut pedang
bedil kehabisan peluru
angin tiba-tiba ribut
suara dari toa-toa hanya berisi kalimat pertolongan

suatu tahun, mungkin tahun yang ganjil
orang-orang canggung datang ke rumah
membawa kitab silsilah
bahkan surat tanah

“tarik pelatuknya, untuk apa surat menyurat!”
di langit, aroma mensiu
genteng bising bagai penggilingan padi
angin sumbang mendarat telinga

di tahun genap, suatu waktu
mungkin di sore yang indah
rombongan-rombongan pencari suaka punya rumah
tak perlu surat menyurat

padang, 2023

Daerah Tak Bertu(h)an - Fakhrunnas MA Jabbar

@kontributor 5/12/2024

Daerah Tak Bertu(h)an

Fakhrunnas MA Jabbar

 


LORONG-lorong itu mengepung pemukiman. Orang-orang berlalu-lalang sesukanya. Tak peduli laki-laki atau perempuan dengan balutan baju warna-warni. Di sudut-sudut lorong yang agak gelap para perempuan molek berbilang bangsa berjajar. Mata mereka agak liar menatap setiap lelaki yang lewat di depannya. Banyak kerumunan bisa terdedah tiba-tiba.

Police is coming!” teriak seorang centeng Tionghoa sambil melambai-lambaikan tangan. Para kerumunan orang-orang itu bersurai tiba-tiba. Tak lama kemudian, lorong-lorong yang ada di sekitar pemukiman itu pun jadi sunyi. Padahal bulan terang benderang bercahaya di awal purnama itu.

Dawood dan Sahlan, dua  budak Melayu yang sudah berjam-jam berkitaran di kawasan remang-remang itu hanya terpana bersaksi. Keduanya saling bertatapan dan tersenyum ketika mengenang ratusan perempuan yang menjajakan diri itu berlarian. Menyelamatkan diri dari tangkapan polisi Singapura itu.

“Jangan-jangan Tuhan pun enggan lewat di sini,” ucap Dawood berkelakar sambil menepuk bahu sohibnya, Sahlan.

“Bukan begitu. Dulu, kawasan ini daerah tak bertuan…Jadi para mucikari menghimpun anak buahnya di sini,” balas Sahlan.

“Pas sudah. Sekarang sudah jadi ‘daerah tak bertu(h)an’ barangkali.” Seloroh Dawood diiringi tawa terbahak-bahak.

“Ah, awak nih merapek aja.. Taklah begitu, Tuhan ‘kan ada di mana-mana.”

“Sudahlah, setidak-tidaknya orang-orang yang datang ke sini, merasa Tuhan sudah tak ada. Tak ada perasaan takut lagi. Sebab, bila mereka takut pada Tuhan tentulah mereka tak akan berfoya-foya di sini”

Dawood dan Sahlan sama-sama tertawa. Boleh juga saling menertawakan diri mereka masing-masing. Pasalnya, bertahun-tahun tak pernah jumpa justru bertemu di tempat yang penuh asyik-maksyuk itu.

Selang berapa lama, suara adzan Isya melengking tinggi. Kedua sahabat karib itu benar-benar senyap sejenak mendengar panggilan salat itu.

“Itu pertanda Tuhan masih ada di sini,” suara Dawood menimpali lagi begitu suara adzan berakhir.

Keduanya terdiam serempak. Mendengarkan suara adzan lebih cermat. Sahlan tampak lebih tertunduk. Dawood memperhatikannya secara seksama.

Sebuah masjid orang Arab sudah berdiri tegak sejak lama di situ. Bersisian di sebelahnya ada pula vihara orang-orang India dan sebuah kelenteng, tempat ibadah orang Tionghoa. Setidak-tidaknya ada pula dua gereja melengkapi kawasan pemukiman. Hanya letaknya saja berbeda-beda lorong, satu dengan yang lain.

Dawood, perantau dari Riau sudah bermastautin lama di negeri Singa itu. Kepergiannya dua puluh tahun silam bermula dari rasa patah hati. Ia menaruh hati pada Salamah, dara kampung yang molek. Tapi cintanya berakhir tragis. Sedang bersenang-senang menjalin kasih, tiba-tiba Dawood ditinggalkannya meski atas perintah ayah dan emaknya. Memang, Salamah pada akhirnya lebih memilih, Hasyim, lelaki berpunya yang masih ada hubungan saudara-mara dengan Salamah. Kaji punya kaji, Dawood bisa memahami karena lelaki padanan Salamah memang lebih berpunya dibanding diri Dawood sendiri.

Kepergian Dawood meninggalkan kampung halaman, bak ‘berdendam’ untuk mengubah nasib. Ia ingin berjaya di rantau orang agar hidup lebih bermarwah bila suatu saat balik ke negeri asal.Ia ingin menunjukkan kehebatannya di mata orang kampung terutama Salamah dan Hasyim yang sudah berpadu-kasih.

Di Singapura, Dawood beruntung bisa bekerja di sebuah jawatan kuasa di bidang transportasi. Bahkan dia sudah punya sebuah flat, tempat tinggalnya. Meski di usia hampir 40 tahun, lelaki bercambang lebat itu masih saja hidup membujang. Memang ada satu-dua anak dara Singapura yang pernah berhubungan dekat, tapi hati Dawood masih tertutup buat mereka. Bahkan ada pula beberapa amoy molek di tempat kerjanya yang bersimpati, tapi Dawood masih menepis mereka. Tampaknya, hatinya begitu terluka kala ditolak Salamah dan keluarganya.

“Apa kabar Salamah?” tiba-tiba Dawood bersuara agak kuat memecah kesunyian yang melintas beberapa saat di kawasan ‘lampu merah’ itu.

“Hah..masih terkenang juga pada dara yang telah membunuh perasaan awak itu,” sahut Sahlan sambil tertawa mengejek. “Sudahlah, Wood, kembang tak setangkai, kumbang pun tak seekor. Lupakan sajalah perempuan tak setia itu,” tambah Sahlan geram.

“Lan, bagaimana aku bisa lupa? Kata pepatah Melayu, sedangkan tapi jatuh lagi dikenang, apatah lagi tempat bermain. Aku dulu berhubungan kasih cukup lama, Lan.”

“Iya..aku tahu. Aku faham. Tapi, sejarah yang getir begitu tak perlulah dibalik-balik lagi. Lagi pula, Salamah sudah beranak-pinak pula dengan Hasyim. Mereka dah bahagia.” Suara Sahlan agak meninggi. Dawood tampak tak bergeming.

Hening kembali menyeruak di antara kedua lelaki itu. Suasana di kawasan yang kemudian mereka sepakati secara kelakar dengan sebutan ‘Daerah Tak Bertu(h)an’ –huruf t kecil- itu kembali ramai. Ratusan perempuan cantik berkeliaran di tepi jalan dengan aroma wewangian yang beragam. Mereka semua menunggu para lelaki yang sebagian sudah menjadi pelanggan. Namun, masih banyak pula yang baru pertama kali mendatangi kawasan itu seperti diri Sahlan.

Beberapa hari sebelum mendatangi kawasan hiburan itu, Dawood sudah menceritakan bahwa tak kurang dari 3000 orang perempuan penjaja diri menggantungkan hidup di situ. Para perempuan itu berdatangan dari beberapa negara di kawasan Asia. Bahkan, ada pula yang datang dari Rusia dan Eropa. Dawood hapal betul liku-liku di situ. Sampai-sampai dirinya berkawan akrab dengan salah seorang centeng Tionghoa di sana.

Lorong demi lorong dilewati Dawood dan Sahlan dengan langkah gontai. Maklum, sedari awal Dawood ingin menggambarkan sisi lain negeri Singapura yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Apalagi, Sahlan, sahabat karibnya itu benar-benar ‘orang surau’. Jadi bisa dibayangkan bagaimana Sahlan terus mengucap istighfar menyaksikan dunia hitam yang sangat bertolak-belakang dengan ajaran kebajikan yang didalaminya sejak kecil.

Pertemuan dua sahabat karib setelah dua puluh tahun berpisah itu berakhir dengan kerinduan. Dawood begitu rindu mendengar kabar dari kampung. Persis di seberang Selat Melaka. Sahlan pun rindu terus hendak berjumpa menyaksikan keanehan-keanehan dunia yang selama ini tak pernah tersentuh di negeri seberang itu. Hubungan telepon di antara mereka terus semakin akrab. Ada-ada saja yang dikabarkan Sahlan pada Dawood perihal perkembangan di kampung halaman.

Peluang saling berhubungan ini digunakan Dawood pula untuk menanyakan ihwal bekas kekasih hati, Salamah. Dalam bayang-bayang di pelupuk matanya, Dawood selalu saja merasakan kemanjaan Salamah saat berada di pelukannya di masa belia dulu. Bahkan perasaan itu terasa kian dekat..begitu dekat. Bila Sahlan berkirim kabar soal Salamah, pastilah Dawood merasakan seolah-olah bayangan Salamah sedang menari-nari di depan matanya. Dawood begitu merindukan dara molek di masa lalunya itu.

Hari-hari Dawood semula terasa bagai garis datar belaka. Namun, kabar terbaru dari Sahlan perihal Salamah benar-benar membuat dirinya menahan napas cukup lama. SMS Sahlan berbunyi singkat : Wood, Salamah sakit keras akibat salah satu ginjal tak berfungsi. Sudikah kau menolong?

Lelaki lajang yang berada di perantauan itu langsung menghubungi Sahlan melalui telepon bimbitnya. Hatinya berkecamuk bagaikan derum gelombang selat Melaka di kala musim utara. Ingin dirinya terbang pulang ke kampung, tapi perasaan gusar menyentaknya. Bukankah Salamah sudah jadi bini orang? Sudah punya anak-anak pula. Seketika, Dawood merasa dirinya tak berhak apa-apa atas diri perempuan masa silamnya itu.

Tapi di balik hatinya yang lain, Dawood coba meronta. Bukankah dulu kisah-kasihnya terpaksa diakhiri karena Salamah mengikuti kehendak hati ayah dan emaknya? Padahal, pertalian kasih mereka tak pernah terputus barang sedetik pun. Sampai Dawood merajuk, membawa diri sampai ke negeri jiran? Bahkan, sikapnya tak hendak menikah dengan perempuan mana pun di perantauan itu mempertegas betapa dirinya tak pernah lekang melupakan Salamah?

“Lan, seserius apakah sakitnya Salamah?” begitulah suara Dawood usai menerima SMS Sahlan.

“Seriuslah, Wood. Ginjalnya tak berfungsi. Akibatnya, dia harus cuci darah setiap hari. Biayanya begitu besar. Kecuali bila ada orang yang bermurah hati menyumbangkan sebuah ginjalnya, insya Allah dia boleh pulih lagi.” Sahlan berusaha menjelaskan secara rinci ihwal penyakit yang mendera Salamah.

“Bila bertindak cepat, tentulah belum terlambat, Wood. Tapi aku juga tak bisa berbuat apa.” Sambung Sahlan.

Dawood lama terdiam di seberang.

“Bagaimana suami Salamah?” Tanya Dawood tertahan.

Sahlan bercerita panjang lebar soal Hasyim, suami Salamah. Lelaki itu kini benar-benar sudah tak berdaya karena pekerjaannya membalak kayu sejak beberapa tahun terakhir sudah tak berjalan lancar lagi. Pemerintah menganggapnya sebagai pekerjaan ilegal. Bila dia terus melakukan penebangan di kawasan hutan lindung di kampung itu pastilah penjara yang akan menanti. Hal ini sudah dialami teman-teman sesama pembalak seperti Suib, Hadi dan Samiyan. Pastilah Hasyim tak hendak mengikuti jejak teman-temannya itu berada di dalam bui.

Oleh sebab itu, keberadaan Hasyim kini benar-benar tak berdaya. Dirinya hanya bisa pasrah. Apalagi sebagian harta dan tanah yang dimilikinya sedikit di kampung itu sudah dilepas pula. Dia hanya bisa bermenung pasrah.

Dawood yang sejak dulu terbilang lelaki pembelas itu langsung memutuskan untuk menyerahkan sebuah ginjalnya buat Salamah. Kabar pengorbanan Dawood itu benar-benar menjadi buah bibir orang sekampung. Ada yang berdecak kagum bagaimana pertahanan cinta-kasih seorang lelaki terhadap bekas kekasih hati yang sudah jadi isteri orang lain. Tak sedikit pula yang memuji Dawood atas kerelaan menyerahkan sebuah ginjalnya demi memperpanjang umur Salamah. Bermacam-macam perdebatan yang muncul ihwal sikap Dawood yang luar biasa.

Lebih lagi, saat Dawood sengaja menjemput Salamah dan mengajak serta suami dan anak-anaknya untuk menjalani operasi ginjal di Singapura. Segala biaya benar-benar atas jaminan dirinya. Bisa dibayangkan, saudara-maa Dawood di kampung begitu mencerca dan menyatakan Dawood sudah gila. Tapi Dawood tak begitu peduli.

Bagi dirinya yang dibesarkan dalam adat-resam Melayu, bila kata hati sudah pasti tak ada aral apa pun yang dapat menghalangi. Bak kata pantun lama: buah kemumu, buah bidara/ sayang selasih diluruh/ hilanglah emak hilang saudara/ kekasih hati diturutkan.

Sepekan di Singapura, usai menjalani operasi pencangkokan ginjal di Mount Elizabeth Hospital, kondisi Salamah dan Dawood sama-sama mulai pulih. Meski bersisian bilik di rumah sakit itu, Dawood selalu lebih bergairah untuk menjenguk Salamah. Dia bagai tak begitu mempedulikan Hasyim yang lebih banyak bermenung menjaga isterinya. Hasyim benar-benar tak berdaya bila mengenang bagaimana nasib isterinya justru dipertaruhkan orang lain. Bahkan orang itu adalah Dawood yang pernah bermadu-kasih dengan isterinya. Rasa bersalah, pelan-pelan menyeruak dalam benaknya saat menyaksikan bagaimana keangkuhannya merenggut Salamah dari pelukan Dawood.

Mendengar gelagat Dawood yang berada di luar alur-patut saat memberi perhatian lebih pada Salamah yang sudah jadi isteri orang, Sahlan masih mencoba menyadarkan sahabat karibnya. Berulang-ulang, Sahlan membisikan hal itu baik saat berjumpa selama Salamah dirawat di Singapura maupun setelah berpisah lagi dengan Dawood.

“Dawood, tak elok mengejar-ngejar bini orang. Kau akan dipandang mulia bila pengorbananmu pada Salamah dilakukan atas dasar ketulusan,” kata Sahlan selalu.

“Dawood…jangan kau pandang semua tempat menjadi ‘Daerah Tak Bertu(h)an’. Kau keliru..sangat keliru, Wood!” lanjut Sahlan.

“Lan..aku sudah memutuskan akan menikahi Salamah!” begitu suara tegas Dawood lewat telepon pada Sahlan di suatu petang.

“Masya Allah, Wood. Tak elok merebut bini orang. Allah akan murka. Orang sekampung juga akan murka.”

Sepekan berselang, Dawood harus menelan ludahnya sendiri. Kata hati yang pasti sebagaimana diucapkannya berulang-ulang sama sekali tak bisa mengalahkan kehendak Allah.

Kata dokter, tubuh Salamah tidak serta-merta bisa menerima organ ginjal orang lain. Dawood tak habis-habis menangis. Lelaki bertubuh kekar itu tersungkur.

Gelombang selat Melaka berguncang deras. (diinspirasi bersama dheni kurnia)

 

                                                            ****

 Pekanbaru, 16.2024

 

Catatan:

merapek          = mengada-ada, main-main

telepon bimbit = handphone

bermastautin   = menetap, bertempat tinggal

pembelas         = cepat merasakasihan

adat-resam      = ajaran adat-istiadat

aral                  = rintangan, halangan

papa-kedana   = jatuh miskin yang sedalam-dalamnya

SAJAK