ESAi
TERKINI
Sarang dari Sarung - Hari Alfiyah
SajakKertas Gorengan - Muhammad Faisal Akbar
CerpenKertas Gorengan
Muhammad
Faisal Akbar
Seorang
mahasiswa tengah menenteng skripsi yang hendak ditunjukkan kepada orang tuanya.
Setelah melewati fase revisi yang alot dan adu argumen yang bertele-tele dengan
dosen penguji, pelajar itu lulus dengan nilai ala kadarnya. Malbari, sang
mahasiswa yang meluapkan raut muka sekenanya, tak benar-benar mencintai
karyanya itu lantaran isinya yang menggelikan. Tapi, mengingat bapak ibunya
yang senantiasa menyuruh kawin, toh ia selesaikan juga agar bisa lekas berkarier
dan menabung.
Semasa
kuliah, Malbari mempunyai kebiasaan unik, yakni menghabiskan waktu di belakang
perpustakaan kampus, lokasi di mana tumpukan kertas skripsi dikumpulkan sebelum
dipindahkan ke tempat pembuangan sampah. Di situ, Malbari larut dalam
kesenangannya mengais dan memilah kertas-kertas yang tidak lecek alias masih
layak pakai. Meski terdengar muskil untuk dimengerti, Malbari sesungguhnya
memiliki tujuan mulia: agar seluruh kertas skripsi yang hendak dibakar itu tetap
dapat dimanfaatkan.
Maka
dengan bantuan Bang Sambul, si tukang sampah kampus, Malbari menyebarkan
kertas-kertas tersebut ke kawasan sekitar. Tiap dirinya menemukan kertas
skripsi dengan kualitas tekstur yang mulus, tampak sekilas senyum lirih di
bibir mahasiswa itu. Malbari bergumam, “Syukurlah. Bila memang isinya tak
sebagus itu, paling tidak, skripsi-skripsi ini tak akan dibuang dan dibakar
sebagaimana ribuan lainnya.”
***
“Menurut
kalian, mana yang lebih dulu: perut atau peradaban?” tanya seorang mahasiswa
senior kepada sekelompok juniornya. Carut-marut pun terjadi.
“Perut!
Memangnya siapa yang bisa membangun peradaban dengan perut keroncongan?” Gelak tawa
pun mengerubungi forum, “teori Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu
berada di pucuk piramida hierarki kebutuhan.”
“Lho,
peradaban dulu dong,” bantah mahasiswa lain.
“Kenapa
begitu? Tidak make sense….”
“Mengurus
perut itu lebih mahal, bisa triliunan. Coba hitung, ada berapa BLT saat ini?
Belum lagi penyediaan lapangan kerja. Untung-untung menteri perekonomian dan
stafnya jago mengatur duit.”
“Bung,
perut itu menyangkut kebutuhan dasar manusia. Kenyang dulu, baru bisa beradab!”
“Orang
miskin, kan, sudah tahu adab tanpa perlu diajari. Jadi, peradaban mesti
didahulukan.”
“Idihalah,
dasar komprador penyembah kapitalis!”
Arslim
mendengar celotehan itu baru-baru ini, tepatnya ketika sedang mengantar tiga
bungkus gorengan ke pelataran kampus. Tiap Jumat sore, para mahasiswa secara
rutin menggelar kajian sembari duduk melingkar, berbincang-bincang serius dan
sesekali bergurau. Tiap Jumat itu pula, Arslim nimbrung untuk menyimak. Hanya
mengangguk-angguk, berlagak mengerti. Alasannya sederhana: ia ingin sekali
mengenyam pendidikan tinggi.
Saking
cekaknya wawasan Arslim, ketika ada mahasiswa yang menyebut nama seperti Proudhon
atau Heidegger, yang timbul di benaknya adalah jenis tanaman langka. Ketika
keluar istilah Watergate, Arslim malah membayangkan sebuah pompa air mahal
impor yang berseliweran di iklan-iklan.
Maklum,
sejak kecil, Arslim sudah dituntut untuk bekerja dan ilmunya mentok di jenjang
SMP. Setelah itu, gedung sekolahnya adalah proyek pembangunan apartemen, tempat
ia biasa mengaduk semen. Kendati demikian, Arslim tak patah arang dan tetap
konsisten mengikuti kegiatan akademis ini. Mumpung ada pendidikan gratis,
bisiknya dalam hati.
Selama
ini, Arslim beberapa kali menghadiri diskusi dengan tema ekonomi, politik,
seni, dan hukum. Dari semua itu, obrolan soal filsafatlah yang paling berbelit
sekaligus mengasyikkan. Banyak yang bersangkut paut! Ini disambung ke situ,
yang itu memanjang ke sini, yang di sana berkaitan dengan yang di sini, dan
seterusnya. Ibarat tali-temali yang membujur, tak tahu di mana pangkalnya. Pokoknya,
cukup untuk membuat Arslim betah melamun lama-lama.
Arslim
memang gemar sekali melamun. Bila diadakan lomba melamun, dialah juaranya.
Tokoh kita ini berprinsip bahwa lamunan itu tak terbatas. Akibat hobinya itu,
para tetangga di kampung bahkan sanak saudara kerap menakut-nakutinya soal masa
depan yang suram: karier abu-abu dan pasangan pun ogah dipinang. Kegiatan ini
seakan-akan bergelimang dosa, apalagi jika dilakukan di perkotaan yang
serbacepat. Intinya, sesuatu yang nirguna.
Tapi,
apalah arti hujatan itu? Di sela-sela kesibukan, Arslim masih saja suka berdiam
diri dan memandangi langit sore. Setiap hari tanpa jeda. Baginya, bengong saat
petang menyambar langit adalah mukjizat yang tak mampu disangkal. Tatkala
helm-helm berhamburan di sepanjang aspal dan burit dihabiskan sambil menatap
lampu merah, Arslim justru menikmati angkasa yang bergulir dari biru ke merah,
lalu menghitam. Murah, tapi tidak untuk semua kalangan.
Azan
magrib berkumandang, dan Arslim masih menerka-nerka kata filsafat yang
mondar-mandir di pelataran kampus itu. Ia berandai-andai, bukankah sudah
seharusnya filsafat lebih sering terjun ke bawah dan menengok kehidupan jelata?
Misalnya, dunia para tukang gorengan.
***
Arslim
bersikeras bahwa gerobak gorengan tidak melulu melambangkan kemelaratan. Tanpa
keraguan, jutaan gerobak yang terhampar di berbagai daerah telah menjadi saksi
bisu atas beragam peristiwa: kisah asmara, tabrakan, pencopetan, demonstrasi
dekat istana, sampai aksi terorisme. Benda ini juga tidak hanya menandakan
harapan bagi orang pinggiran. Buktinya, gerobak reyot sekalipun sanggup
menghidupi para konglomerat beserta kerabatnya apabila jumlahnya bejibun.
Bersama
kotak besar beroda dua itu, Arslim kerap disambangi pejalan kaki, pengendara
motor dan mobil, hingga para manusia silver serta badut jalanan yang tengah
beristirahat mencari rezeki. Adakalanya sepasang debt collector bolak-balik
membeli, untuk kemudian dimakan di tempat sambil minum es teh manis. Pernah
juga ada orang asing yang meminta bantuan untuk menyelundupkan barang jadah
untuk selanjutnya diambil orang asing yang lain. Serba-serbi aktivitas ini tak
luput dari perhatiannya.
“Mas,
beli 20 ribu ya. Dicampur saja, tahu isi, tempe dan molen,” tutur seorang
perempuan. Arslim lantas menciduk rincian pesanan dengan sebuah food tongs
yang gagangnya hampir berkarat.
“Bakwannya
masih ada? Boleh deh bungkus 10 ribu. Rawitnya banyakkan, ya. Oh, boleh pinjam
korek?” ucap pelanggan lain seraya mengeluarkan bungkus rokok.
Pembeli
tak kunjung reda petang itu. Tapi, Arslim malah merasa gelisah. Kertas
pembungkus gorengan mendekati penghabisan. Seribu celaka, umpatnya dalam
hati. Ini adalah masalah. Sebab, berdasarkan pengakuan orang-orang, gorengan
harus dilapisi kertas. Jika tidak, rasanya tak lagi sama.
“Eh Mas
Arslim, saya beli 15 ribu, ye. Digabung saja semuanya kecuali gandasturi,”
ujar lelaki yang singgah belakangan.
“Aduh,
maaf, kertas pembungkusnya kosong. Belum ada lagi! Mau pakai kantong plastik saja?”
“Ya
sudah, tidak apa-apa. Lain kali mesti persiapanlah, Mas.”
Sang
pelanggan pun pergi dengan wajah agak dongkol. Arslim membuka laci, menaruh
uang, lalu merogoh ke bagian dalam. Bundelan kertas itu masih ada, dan memang
sengaja ia amankan.
***
Melalui
kenalannya, tukang sampah yang bekerja di kampus negeri seberang, Arslim biasa
memperoleh tumpukan kertas bekas yang nantinya digunakan untuk menyerap minyak
pada gorengan. Saking menumpuknya, ia terkadang boleh mencomot dan memilih
sendiri. Adegan inilah yang sangat ditunggu-tunggu.
Tiap
akhir semester, lazimnya sebelum liburan tiba, kertas dengan judul dan lambang
kampus selalu Arslim simpan baik-baik di laci gerobak sebagai persediaan. Keterangan
tahun penulisannya pun tertera rapi. Sebut saja dari 2015, 2016, 2017, 2018,
terus sampai 2023. Puluhan skripsi yang selamat dari tong sampah besar itu
memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai kertas gorengan. Dan kedua, sebagai bahan
bacaan.
Skripsi-skripsi
tebal lumayan banyak dijumpai. Arslim pernah melihat pembahasan soal perang
fisik dan ideologi, penelitian mengenai hutan lindung, mazhab-mazhab abad
belasan, serta komparasi gaji Ronaldo dan Messi. Bahkan, Arslim juga sempat
mendapati skripsi perihal pedagang kaki lima yang menyelamatkan negara saat
krisis ekonomi tahun 1998 pecah.
Di
samping skripsi, Arslim kadangkala menemukan gundukan kertas berupa buletin
berisi agitasi, berkas makalah, hingga Surat Keputusan Dekan yang terselip. Ada
pula selebaran yang memuat hasutan untuk menurunkan rektor, kaderisasi berkedok
ajakan seminar, sampai surat cinta berbasis teori Alexandre Dumas. Ia
menganggap seluruhnya sebagai bonus belaka.
Akan tetapi,
yang paling menarik justru datang kemarin siang, tepatnya ketika Arslim ikut membereskan
kertas skripsi yang berserakan di belakang perpustakaan kampus bersama Bang
Sambul, sebelum membawanya untuk stok kertas gorengan.
“Bang,
kenapa baru sekarang saya diajak kemari?” tanya Arslim pada rekannya.
“Jadi
begini, Slim. Bukannya gua gak mau ngajak lu. Selama ini, gua selalu
dibantu satu mahasiswa untuk memilah-milah kertas ini. Nah, sekarang orangnya
sudah lulus. Tapi dia berpesan: tumpukan kertas yang masih pantas digunakan
harus terus dipertahankan, jangan sampai dibakar.”
“Mahasiswa
itu sedang dihukum dosen? Atau memang dibayar?”
“Anaknya
rajin minta ampun, suwer dah. Mau dihukum gimana? Dari tampangnya,
sepertinya bukan orang susah.”
“Kalau baru
saja lulus, berarti kertas skripsinya masih ada di sini dong, Bang?”
“Hmmm,
ada kok. Yang paling pojok itu, langsung angkut saja.”
***
Sembari
menata gerobak, Arslim membaca skripsi kepunyaan Malbari, berjudul Data
Kemiskinan dan Upaya Pengentasan Ketimpangan di Negara X Tahun 2019. Matanya
bergerak dari huruf ke huruf, baris ke baris. Bab satu sampai tiga masih
terbilang seru. Loncat ke bab empat, kepala Arslim seketika pusing kala
angka-angka menyeruak dari segenap penjuru halaman. Renungannya menjelma getas
sekaligus khidmat.
“Tingkat
kemiskinan di Negara X yakni sebesar 6,01% dari seluruh wilayah....”
Arslim cepat-cepat
melumat kopi, masih dengan kehampaan yang sama, kemudian menyalakan batang
rokok. Lembar berikutnya makin membingungkan.
“Dari
data yang dihimpun, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Negara X (Rasio
Gini) pada September 2022 tercatat sebesar 0,217, menurun 0,003 poin dari Maret
2022 lalu….”
Arslim berkumur
untuk membuang sisa tembakau yang menyelip di antara gigi yang menguning.
Ternyata cuma ampas kopi yang memenuhi rongga mulut. Hawa kian panas. Serbet
sebentar-sebentar ia kibaskan. Arslim tiba-tiba merindukan gerimis di kaki
cakrawala. Hujan belum lagi turun.
“Jumlah
penduduk miskin berkurang 1,22 juta orang menjadi 19,38 juta. Maka, berdasarkan
teori yang diimplementasikan, pemerataan ekonomi akan terwujud dalam 2-3 tahun
ke depan, dan….”
Bacaannya
rampung. Arslim mengernyitkan dahi. Sebagai lulusan SMP, tulisan itu tentu terlampau
berat. Oleh sebab itu, agar tidak salah paham, Arslim menelaah ulang.
“Woi, napa
melongo gitu? Lagi baca apa, nih?” suara Bang Sambul—yang muncul
entah dari mana—menggelegar di telinga.
“Oh,
begini Bang, isi skripsi ini cukup aneh, khususnya di halaman 65. Disebutkan
bahwa pertumbuhan ekonomi negara akan menempati posisi lima teratas di dunia.
Kalau dibandingkan dengan situasi sekitar, saya cuma tahu bahwa beberapa pekan
lalu, harga minyak, gas LPG, dan tepung terigu justru melambung.”
“Heh,
itu mah lumrah. Satu-satunya hal yang tidak melonjak itu, ya, penghasilan
kita ini. Hohoho!”
“Nah,
tengok ini, halaman 74. Jika kemiskinan betul-betul sudah diberantas, mustahil
mantan kekasih saya rela menjual diri ke lintah darat demi melunasi utangnya
yang menggunung, bukan?”
“Terkait
pemberantasan ini, mending kita ngomongin Kali Brantas aja, lebih
kentara juntrungannya!”
“Coba
dengar dulu, Bang. Pada halaman 108, dijelaskan pula, ekonomi negeri ini akan
lepas landas! Kalau ini benar, bapak saya semestinya tak lagi berpura-pura jadi
dukun sakti untuk membayar tunggakan biaya pengobatan ibu.”
Bang Sambul
menutup mulut rapat-rapat. Tangannya menepuk-nepuk pundak Arslim tanpa
berkata-kata.
“Andai
saja saya berpeluang menjadi dosen pembimbing, kertas-kertas ini sudah pasti
dipenuhi goresan tinta merah,” sergah Arslim menyambung percakapan.
“Lu
ini mengada-ada. Ayo, bakar rokok lagi biar otak jernih.”
“Mana mungkin
skripsi model gini lolos begitu saja ke ruang sidang dan meluluskan pengarangnya?”
“Pengarang?
Maksud lu, skripsi ini karangan bebas, gitu?”
“Bukaaan,”
Arslim buru-buru menjumput spidol merah yang terletak di dalam saku. Bang
Sambul mengamati gerak-gerik tukang gorengan kritis itu.
Untuk
permulaan, Arslim menorehkan lingkaran pada judul dan membubuhkan komentar: Dapat
dari mana datanya? Dasar pembual!
Langkah
berikutnya, ia coret seluruh daftar pustaka di bagian akhir seraya menambahkan
nasihat: Sumbernya sesumbar semua, harusnya diperiksa dulu!
Terakhir,
Arslim yang sedari tadi merengut pun menyulap bab kesimpulan menjadi arena
pelampiasan kekesalannya. Ia menulis persis di sebelah kanan kalimat penutup: Negara
X itu ada di bumi bagian mana?
Bang Sambul
menggeleng-gelengkan kepala, lalu memecah aksi brutal tersebut, “Di zaman edan
ini, angka-angka, mah, emang bisa bohong. Jadi, gak usah dipikirin!
Daripada dibuang, kertas-kertas itu toh ada manfaatnya, kan? Bisa dibaca atau
dipakai buat ngebungkus gorengan lu.”
Arslim
sepintas melirik kawan seperjuangannya itu dan merasa tidak enak hati atas
perilakunya yang sembrono. Asap rokok menggumpal di sekeliling mereka.
Khalwat Puisi: Menjenguk Diri - Agus Manaji
EsaiAgus Manaji
“Puncak-puncak
puisi Islam klasik sebagian besar bertalian dengan tasawuf, terutama karena ia
ditulis oleh para sufi atau yang berkecenderungan sufistik dan punya hubungan
erat dengan tasawuf.”
(Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor)
Kita mudah bersepakat dengan pendapat Acep Zamzam Noor, tasawuf terbukti telah menyuguhkan sastra bermakna. Tak sekadar indah, sastra sufistik menawarkan alternatif spiritualisme di tengah kehidupan yang materialis dan hedonis. Tak Cuma ulama, para penyair juga penafsir ajaran agama. Para penyair, penghayat hidup, hadir sekaligus berjarak, di tengah (kehidupan) masyarakat.
Sastra
religious bernapaskan Islam dan sastra sufistik memiliki jejak panjang di
Indonesia. Meski mulai era 70-an, nyala sastra ini tampak lebih benderang,
bersama gagasan/temuan sastra lain yang muncul ketika itu, seperti puisi mbeling
dan puisi konkret. Seolah ikut merayakan “kemerdekaan” pasca polemik antara kelompok
manifest kebudayaan dan kelompok lembaga kebudayaan rakyat dengan realisme
sosialisme-nya yang terjadi pada tahun 60-an. Selain itu, karya-karya sastra
sufistik dari Taufik Ismail, Emha Ainun Nadib, Danarto, Kuntowijoyo, M Fudoli
Zaini, maupun Abdul Hadi W.M.
menjadi suara lain dari gemuruh pembangunan pemerintahan orde baru yang
berdampak pada ausnya spiritualitas.
Sedikit
perihal Abdul Hadi WM yang belum lama ini meninggalkan kita, beliau
berkontribusi besar mengenalkan kita kepada karya-karya sastra sufi dari Rumi,
Iqbal, Omar Khayyam, al Hujwiri, dan bahkan Faust Goethe. Puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” telah menjadi setetes embun bening dalam perpuisian kita. Bukunya
Sastra Sufi barangkali menjadi buku
kompilasi paling kaya dan telah menjadi klasik yang diterjemahkan dan disusun
secara serius oleh penulis Indonesia. Buku ini menghimpun puisi maupun prosa
dari sastrawan sufi, dari khazanah peradaban Islam baik luar negeri maupun
Indonesia. Terakhir, karyanya Tasawuf
yang Tertindas
yang diangkat dari disertasi Abdul Hadi W.M.
adalah tafsir paling kritis dan otoritatif hingga saat ini atas puisi dan
pemikiran Hamzah Fansuri.
Di tahun 90-an hingga 2000-an
sastra sufistik diteruskan generasi Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy, Hamdy
Salad, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Kuswaidie Syafie, dan Abdul Wachid BS, Bernando
J Sujibto. Gambaran periodisasi di atas sebetulnya tidak saklek atau
ketat mengingat jenis ini berumur panjang. Puisi-puisi bernapaskan Islam dan
sufistik terus ditulis, bahkan banyak nama dari era-era lampau itu masih
menulis hingga hari ini. Kita masih membaca karya-karya baru Emha Ainun Nadjib,
D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, hingga di hari-hari ini.
Sofyan RH. Zaid, penyair asal Madura, pulau yang sama melahirkan penyair ampuh seperti Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Jamal D Rahman, M. Faizi, Raedu Basha, dan Mahwi Air Tawar, baru saja menerbitkan Khalwat. Di bagian Pintu Buku, “Tasawuf, Filsafat, dan Puisi” Sofyan menceritakan sejarah hidup kepenyairannya. Sejak menempuh pendidikan tingkat SD, MTs, kemudian Pondok Pesantren Annuqayah, Sofyan sudah menunjukkan ketertarikan pada puisi, filsafat dan tawasuf. Ia menulis, “buku Khalwat sebagai buku puisi kedua setelah Pagar Kenabian (2015) ini, berisi sepilihan puisi yang mewakili perjalanan hidup saya tersebut.”
Struktur
dan Labirin Doa Pembuka
Pemilihan
judul Khalwat serta kata pengantar
yang sarat nuansa tasawuf membantu pembaca dalam memahami buku. Kata “khalwat”
atau “khalwah” merupakan salah satu istilah khas dalam khazanah tasawuf yang
bermakna penarikan diri dan penyendirian spiritual. Pada tahapan awal, laku
khalwat dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari gangguan-gangguan luar
yang berpotensi menyimpangkan seseorang dalam kontemplasi atas Nama-nama dan
Sifat-sifat Allah. Pada tahap selanjutnya, khalwat
dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati senantiasa hadir terus-menerus
bersama Allah di mana pun setiap saat. Pada titik
ini kemudian khalwat menjelma menjadi perbincangan mesra di relung kesadaran
seseorang dengan Allah. Syaikhul Akbar Ibnu Arabi menimbang penting khalwat hingga merasa
perlu menuliskan Rilalah al-Anwar fi maa
Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, sebuah panduan praktik menjalani
khalwat.
Sofyan
dengan pertimbangan terukur mengatur puisi-puisinya ke dalam 5 bagian seperti
struktur sebuah risalah tasawuf, yakni Mukadimah (1 puisi), Khalwat
Pertama (12 puisi), Khalwat Kedua (12 puisi), Khalwat Ketiga
(12 puisi), dan Khatimah (1 puisi). Demikian, kita mafhum Sofyan
menggunakan kata “mukadimah” dan “khatimah” yang telah terserap ke dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia, dan tidak memilih kata “pembukaan” dan
“penutupan” misalnya, demi menebalkan nuansa kitab klasik Islam.
Puisi pertama buku ini langsung membuat saya tertegun diam. Tiga bait saja, diksinya sederhana, bergema panjang dan membentangkan banyak hal. Terpaksa saya mengingat dan memanggil beberapa ingatan bacaan, dan sedikit tafsir.
DOA
PEMBUKA DIRI
maha
pemaksa
yang
pengasih
maha
penyiksa
yang
penyayang
aku bergantung
dan berlindung kepadamu
dari bujuk iblis yang terkutuk!
bahkan
mungkin
dari
diriku sendiri
dengan menangis
aku kini mengemis padamu:
apa
yang pernah diminta musa
tapi
kau berikan pada muhammad
2013-2024
Puisi “Doa Pembuka Diri”, pada bagian Mukadimah seolah berperan sebagai bacaan ta’awudz bagi seorang muslim yang akan mengaji Al-Qur’an. Melalui puisi ini Si Aku Penyair menyatakan pengakuan kehambaannya, memuja sekaligus menyadari Sifat-sifat Allah yang seolah bertentangan, tapi sesungguhnya saling melengkapi, dan kita bisa menyebutnya sebagai kesempurnaan: maha pemaksa/ yang pengasih/ maha penyiksa/ yang penyayang. Selanjutnya, pada bait kedua, Si Aku menyatakan kebergantungannya seraya memohon perlindungan Allah dari bujuk iblis yang terkutuk dan dari (nafsu) diri sendiri. Si Aku melanjutkan doanya pada bait ketiga, seraya menangis mengemis kepada Tuhan Apa yang pernah diminta Musa tapi kau berikan pada Muhammad.
Puisi
ini menggambarkan pengakuan posisi kehambaan insan di hadapan Allah. Lebih dari
perannya sebagaimana bacaan Ta’awudz,
penyebutan iblis di bait kedua, menurut saya, melengkapi kesadaran kehadiran
-dan kemudian tentu menentukan orientasi dan tujuan- manusia dalam hidup.
Bukankah soal penciptaan dan keunggulan manusia dalam Al Quran selalu
bersanding dengan kisah pengingkaran Iblis atas perintah Tuhan untuk bersujud
kepada manusia? Iblis kemudian meminta penangguhan pada Tuhan untuk hidup di
dunia, untuk menggoda dan menjerumuskan manusia agar mengingkari kebenaran dan
perintah Tuhan.
Bait
ketiga meneruskan doa sebelumnya, sekaligus menegaskan orientasi tujuan Si Aku
selaku manusia: apa yang pernah diminta
musa/ tapi kau berikan pada muhammad. Nabi Musa seorang nabi Istimewa,
salah seorang nabi ulul azmi, dihormati oleh umat Yahudi, pembebas Bani Israel
dari penindasan Firaun. Meski seorang nabi dan rasul, namun Nabi musa kerap
menunjukkan karakter yang manusiawi. Misal, ia mulanya menolak menyampaikan
risalah karena merasa lemah, tak fasih berbicara dan berdiplomasi. Ia pun
meminta Tuhan agar diberi seorang pembantu Nabi Musa Kalimullah sebagai juru
bicara. Kali lain, ia merasa sombong sebagai hamba Allah yang paling saleh,
hingga ditegur oleh Tuhan. Akhirnya, Musa harus berguru kepada hamba Allah
misterius anonym, mungkin bukan seorang nabi, dan kita mengenalnya sebagai
Khidir. Konon kata “khidir” bermakna hijau, menghidupkan. Demikian kemudian
Nabi Musa mengalami pencerahan.
Apa
yang dituturkan bait ketiga puisi ini bertalian dengan 2 peristiwa/kisah
penting kedua nabi yang tersebut. Frase pertama, Apa yang pernah diminta musa, merujuk kepada permintaan Nabi Musa
Agar Allah menampakkan diri agar Musa dapat melihatnya. Permintaan ini tidak
dikabulkan, Musa hanya menyaksikan gunung hancur luluh. Kisah ini tertuang
dalam surat al a’raf ayat143. Frase kedua, tapi
kau berikan pada Muhammad, bertalian dengan Peristiwa isra mi’raj,
peristiwa perjalanan Nabi Muhammad dalam satu malam dari kota Makkah ke kota
Yerusalem, dan kemudian Mi’raj naik ke langit, hingga ke Sidratul Muntaha.
Rasulullah kemudian bertemu Allah dan menerima perintah sholat 5 waktu. Menurut
salah sebuah hadits, semula perintah sholat berjumlah 50 waktu, tapi atas saran
Nabi Musa, yang dijumpai Rasulullah di langit bawah, Rasulullah menawarnya
hingga tersisa hanya 5 waktu saja. Peristiwa Isra Mi’raj tersurat dalam Al
Quran surat Al Isra ayat 1 dan An Najm ayat 13 – 18.
Bagi saya, puisi “Doa Pembuka Diri” begitu apik, dengan diksi sederhana namun terukur, mampu menyajikan lipatan-lipatan dan labirin makna dengan pas. Tidak kurang, tidak berlebih. Pengaturan komposisi baris-baris puisi yang memusat mengisyaratkan keseimbangan dan ketenangan batin. Pernyataan tersirat akan perjumpaan dengan Allah Sang Kekasih dalam khazanah tasawuf tentu menjadi tujuan. Dan demikian, puisi ini telah berhasil merangkum isi dan memberi arah pembacaan buku khalwat.
Khalwat Pertama: Munajat
Selayaknya
seorang muslim hendak mengaji, sehabis membaca ta’awudz, kemudian membaca
basmalah. Sofyan menempatkan puisi Bismillah! sebagai puisi pertama dari bagian
Khalwat Pertama. Di awali dengan menyatakan kefakiran diri, puisi ini kemudian
mengungkap kesadaran akan pentingnya tawakal manusia kepada Allah. Tampak pada
puisi ini ikhtiar Si Aku untuk menafikan, melawan egonya dan dirinya sendiri.
Ia berseru lirih, bawa ke mana kau
hendak/ tak akan aku berontak. Hidup adalah perjalanan yang disimbolkan
dengan sungai dan alirannya menuju ke segara/laut. Kaum sufi menghayati hidup,
melawan ego, dan menghidupkan kesadaran akan kedaifan sehingga mampu selaras
dengan kehendak Tuhan.
Bagi yang akrab dengan kitab klasik tasawuf semisal Risalatul Qusyairiyah, At Ta’aruf al Kalabadzi, Al Luma Abu Nashr As Sarraj, tentu
mafhum jika kaum sufi adalah penghayat agama yang original dan sahih. Konsep
tauhid, misalnya, dipahami secara khas oleh setiap sufi, dalam kata-kata mereka
sendiri sebagai buah dari pengalaman. Pendapat-pendapat tersebut sering tampak
beda bahkan bertentangan tapi sesungguhnya mengandung spririt (arti) yang sama
atau setidaknya beririsan satu sama lain. Dalam konteks inilah rasanya kita
lebih mudah membaca puisi Tasawuf III.
Diksi “sungai” kembali muncul pada puisi ini.
TASAWUF III
sungai terpanjang setelah nil
adalah rinduku
Annuqayah, 2007
Judul puisi dan
badan puisi berkait erat, satu kesatuan. Dengan diksi “sungai”, “nil”, dan
“rindu”, hanya 2 larik saja, Sofyan berhasil mendefinisikan ulang tasawuf dalam
relasi cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Sungai Nil, kita tahu, diakui
sebagai sungai terpanjang di dunia, dan bagi Penyair, rasa rindunya kepada
Kekasih menjadi sungai terpanjang berikutnya. Ada kerendahan hati di sini
dengan tidak menyebut “yang paling panjang”. Puisi ringkas ini juga
mengisyaratkan sebuah perjalanan panjang, disinggung pula dalam puisi Bismillah!, yang membutuhkan perjuangan mujahadah melawan hawa nafsu dan
pe-nafi-an diri.
Dengan pola
ungkap seperti puisi Tasawuf III,
puisi terakhir bagian Khalwat Pertama, berjudul Tuhan, hanya berisi 1 kata: tahan! Bagian
judul dengan bagian isi puisi seolah dua sisi dari sekeping mata uang logam.
Rima “han” menautkan judul dengan isi, kemudian menggemakannya dalam semesta
tafsir di benak pembaca. Bukankah Tuhan Mahasegalanya, Mahapengasih, Mahasuci,
dan seterusnya, sementara manusia betapapun memiliki tubuh sehat dan rasionalitas
yang kuat, dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata
tetap saja berlumur keterbatasan dan lumpur dosa. Kedaifan manusia, atau salik,
jatuh bangun, hadir dan tenggelam, dalam menempuh jalan panjang pencarian,
berhadapan dengan samudera kemahaan Tuhan, tak ayal membangkitkan perasaan
patah, gusar, sekaligus pasrah. Puisi Tuhan
seolah meringkas seluruh ikhtiar dan munajat dari 11 puisi lain di bagian
Khalwat Pertama. Dalam soal keringkasan puisi ini mengingatkan kita pada
puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Kalian”. Selengkapnya kita nikmati puisi Tuhan:
tahan!
2023
Khalwat Pertama, bagian pertama buku, menyajikan puisi-puisi intim, munajat perbincangan antara Sang Pencinta (Si Aku) dengan Sang Kekasih (Sang Khalik), kesaksian penghambaan, serta monolog perenungan diri. Khalwat pertama inilah yang selaras dengan definisi khalwat pada tahap awal, yakni penarikan diri dari (pergaulan) dan maslahat dunia.
Khalwat Kedua: Sendiri
Bersama
Khalwat Kedua,
bagian kedua buku ini, menampilkan 12 puisi dari tahap khalwat selanjutnya.
Pada tahap ini khalwat dapat menjadi semata-mata spiritual ketika hati
senantiasa hadir terus-menerus bersama Allah dimana pun setiap saat.
Puisi-puisi pada ruang ini tidak eksklusif, ada kehadiran orang lain, mungkin
kawan, semisal pada puisi “Pintar,
Tapi Tolol Seperti Gawai” dan puisi “Simulakrum”, atau ada tokoh Gus Dur (?) seperti pada puisi “Songkem”.
Atau Ibu pada puisi “Bunda
Doa”.
Tempatnya pun bisa berbeda-beda, seperti sepanjang jalan, kafe, puncak,
tepi sungai Wilmington. Kita juga membaca waktu pagi yang hablur, siang hari atau kapan pun.
Ikhtiar untuk
hadir terus bersama Allah tidak mungkin tanpa hambatan seperti kita berkendara
di jalan tol. Kemajuan peradaban menawarkan aneka pilihan (semu) menggoda.
Silaturahim kepada tokoh spiritual/ulama bisa menjadi pelipur dan pengingat.
Hanya ruhani-ruhani sefrekuensi bisa bergetar dalam resonansi. Puisi “Songkem”,
yang tampaknya diperuntukkan buat Gus Dur, merekam hal ini. Penyair mencatat: ruhku pada ruhmu bersalam/ di antara riuh
orang-orang/ yang pura-pura mencari berkah.
Perenungan Sofyan atas fenomena kehadiran gawai menghenyak
kesadaran kita. Alih-alih berfungsi memudahkan kerja dan komunikasi manusia,
gawai dalam banyak kasus justru berakibat dehumanisasi, manusia kehilangan
focus dan orientasi. Pada puisi “Simulakrum” Penyair menggambarkan pertemuannya
dengan seorang kawan di sebuah kafe. Mereka saling kangen. Ironisnya pertemuan
itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan mungkin sia-sia karena kemudian
perpisahan terjadi begitu mereka asyik dengan gawai masing-masing. Kita cuplik
2 bait puisi ini:
beberapa
menit kemudian
perpisahan tiba lebih awal
sebelum lambai selamat tinggal
dan ikrar untuk bertemu lagi
saat tangan sam-sama meraih gawai
dan mulai saling abai!
Khalwat
Ketiga: Pulang
Bagian
Khalwat Ketiga, masih kelanjutan Khalwat Kedua. Pengenalan manusia akan
Tuhannya mensyaratkan pengenalan diri. Sebuah hadis masyhur di kalangan kaum
sufi berbunyi, man arafa nafsanu, arafa
rabbahu, siapa yang mengenal dirinya (akan) mengenal Tuhannya. Syaikh Imam
Abdullah Al Haddad menafsirkan hadis tersebut dengan mengaitkannya kepada Al
Fushilat ayat 53 yang berbunyi “Akan
Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala dan pada diri mereka
sendiri sehingga menjadi jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar”.
Jagat besar, alam semesta (makrokosmos) dan jagat alit, diri manusia
(mikrokosmos), bertaut serupa cermin satu sama lain. Mereka yang mengetahui
(kekurangan dan kelebihan) dirinya akan dapat mengenali Tuhannya saat
berhadapan dengan alam. Proses pengenalan diri setiap insan berbeda-beda, amat
personal.
Puisi-puisi
pada bagian ini menggambarkan proses penyair untuk pulang, melacak asal usul,
untuk kemudian menera ulang orientasi hidup, dalam bahasa Abdul Hadi W.M., “kembali akar, kembali sumber”. Akar
atau sumber tidaklah tunggal, dapat berupa filsafat, spiritualitas nilai agama,
tradisi, asal usul leluhur.
Filsafat
menjadi salah satu jazirah pencarian diri yang menggoda, tampak akan dapat
memuaskan akal rasional. Penyair Sofyan pun bergulat dengan filsafat, bertemu
Eric Fromm, Sartre, maupun Karl Marx. Sayang, tampaknya pencarian kurang
memuaskan. Dalam puisi “Alien”, si Aku mendapati kenyataan, kopi dalam gelas kemanusiaan tinggal ampas,
lalu Erich Fromm dan Sartre memanggilnya: “alien…
alien... alien…”. Akhirnya Sofyan insaf dan berseru: sebab akulah kesepian itu!
Pencarian
diri membawa penyair pulang kampung untuk menyaksikan bulan, tanda
kebesaran Allah di ufuk (ingat surat Al Fushilat ayat 53 tadi!). Bulan yang
sama disaksikan di perantauan sesungguhnya, tapi dari sudut berbeda, dari tanah
kelahiran, dekat hulu kehadiran, hingga tampak lain beda. Dalam puisi “Bulan Batang-Batang”,
Sofyan menemukan bulan yang putih perak
kemerahan cahayanya ternyata seperti
bibirmu berkilau memaksa orang-orang bersaman. Ikhwal tujuan penciptaan
manusia juga membawa penyair melakukan perenungan hari ‘alastu, hari perjanjian
primordial di alam ruh, di mana ruh manusia mengakui Tuhannya
sebagaimana tertuang dalam surat al A’raf ayat 172 (puisi “Alastu”).
Bagi kaum sufi, hari itu adalah hari persaksian bahwa Tuhan-lah Sang Kekasih.
Hari Alastu adalah “hari awal” sekaligus menjadi simbol
“hari akhir” pertemuan dengan Sang Kekasih di akhirat kelak.
Keluarga
menjadi rujukan manusia dalam mengenali diri. Jalan takdir kehadiran manusia di
dunia adalah hubungan cinta ayah dan ibu. Di sini, kasih sayang Tuhan mewujud
dalam kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka. Betapa penting peran dan
makna orang tua, khususnya Ibu. Seorang manusia sampai kapan pun tetaplah seorang anak dari Ibunya. Kasih sayang
dan pendidikan Ibu akan terus menjadi suluh dalam kehidupan seorang anak. Kita
simak petikan puisi “Dadaisme
Ibu”:
kemana pergi
sejauh menjadi
aku tetap kanakmu, ibu
dunia ini masih dadamu
dan segala waktu
adalah masa kecilku
Sekali lagi, puisi-puisi pada bagian Khalwat Ketiga, menggambarkan fase khalwat kedua, di mana manusia tak sekadar menarik diri, tapi berusaha memutus ikatan-ikatan keduniawian. Bukan memutusnya sama sekali, karena toh manusia harus hidup di tengah masyarakat, namun untuk menemukan nilai hidup. Demikian, manusia menepi sejenak, menjalin dan mengayam kembali simpul dan ikatan primordial.
Spirit puasa,
terutama di 10 hari akhir bulan Ramadhan, di mana
seorang muslim disarankan oleh Nabi untuk mengencangkan ikat pinggang dan
beri’tikaf, sejatinya sama dengan spirit khalwat. Lailatul Qadar atau malam
kemuliaan sesungguhnya karunia Tuhan atas hambanya yang terpilih, yang meronda
dan bersiap diri sepanjang hari dengan laku ibadah penghambaan penuh
penghayatan. Mereka yang sukses beribadah dan beri’tikaf, mereka yang berhasil
menjalani khalwat, sama-sama mendapat karunia Lailatul Qadar, yakni pencerahan
ruhani yang kelak menjadi spirit dan energi dalam kehidupan manusia
selanjutnya.
Puisi-puisi Sofyan RH Zaid tampak bening, buah dari perenungan hati yang jernih. Dengan diksi yang padat, beberapa tampil prismatik, menyuguhkan aneka warna dan lipatan tafsir. Sofyan RH. Zaid, lewat buku terbarunya, mengajak pembaca untuk berkhalwat lewat puisi. Tidak harus meninggalkan kehidupan sehari-hari, tapi dengan sedikit-sedikit memutus ketergantungan kita pada (kepalsuan) dunia, seraya mengaktifkan sensor hati demi merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan.
Demikian. Semoga.
Muntilan, 4 Mei 2024
Rujukan dan Bacaan
1: Pesantren, Santri, dan Puisi, esai Acep Zamzam Noor, dalam Majalah
Horison no. 4, tahun XXXI, April 1997.
2: Buku esai Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, kumpulan esai Abdul Hadi WM,
penerbit pustaka firdaus, terutama pada esai berjudul sama dengan judul buku,
hal 3 -20, juga esai sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik
Kepengarangan di Indonesia, halaman 21- 41.
3: Sastra Sufi, Penyusun, Penyunting, Penerjemah Abdul Hadi WM,
Pustaka Firdaus, Juni 1996
4: Tasawuf yang Tertindas, diangkat dari disertasi Abdul Hadi WM,
Penerbit Paramadina
5: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Khazanah Istilah Sufi, Amatullah
Armstrong, penerbit Mizan, cetakan 1, Desember 1996
6 : Risalah Kemesraan, terjemahan atas kitab Rilalah al-Anwar fi maa Yumnah Shabib al-Khalwah min al-Asrar, karya
Ibnu Arabi, bersi Indonesia, Penerbit Serambi, th 2005.
7 : Puisi Kalian, dalam buku O Amuk
Kapak, karya Sutardji Calzoum Bachri, Sinar Harapan, Cet pertama, th 1981,
halaman 98.
8 : Pemuas Kalbu, terjemahan atas Al Nafais al Ulwiyyah fi Al Masail al
Shufiyah, penerbit IIMaN dan Penerbit Hikmah, tahun 2003, hal 114 - 116
Kualasimpang - Raudal Tanjung Banua
SajakTahun yang Ganjil - Arif Purnama Putra
SajakDaerah Tak Bertu(h)an - Fakhrunnas MA Jabbar
CerpenDaerah
Tak Bertu(h)an
Fakhrunnas MA Jabbar
LORONG-lorong itu mengepung
pemukiman. Orang-orang berlalu-lalang sesukanya. Tak peduli laki-laki atau
perempuan dengan balutan baju warna-warni. Di sudut-sudut lorong yang agak
gelap para perempuan molek berbilang bangsa berjajar. Mata mereka agak liar
menatap setiap lelaki yang lewat di depannya. Banyak kerumunan bisa terdedah
tiba-tiba.
“Police is coming!” teriak seorang
centeng Tionghoa sambil melambai-lambaikan tangan. Para kerumunan orang-orang
itu bersurai tiba-tiba. Tak lama kemudian, lorong-lorong yang ada di sekitar
pemukiman itu pun jadi sunyi. Padahal bulan terang benderang bercahaya di awal purnama
itu.
Dawood
dan Sahlan, dua budak Melayu yang sudah
berjam-jam berkitaran di kawasan remang-remang itu hanya terpana bersaksi.
Keduanya saling bertatapan dan tersenyum ketika mengenang ratusan perempuan
yang menjajakan diri itu berlarian. Menyelamatkan diri dari tangkapan polisi
Singapura itu.
“Jangan-jangan
Tuhan pun enggan lewat di sini,” ucap Dawood berkelakar sambil menepuk bahu
sohibnya, Sahlan.
“Bukan
begitu. Dulu, kawasan ini daerah tak bertuan…Jadi para mucikari menghimpun anak
buahnya di sini,” balas Sahlan.
“Pas
sudah. Sekarang sudah jadi ‘daerah tak bertu(h)an’ barangkali.” Seloroh Dawood diiringi
tawa terbahak-bahak.
“Ah,
awak nih merapek aja.. Taklah begitu,
Tuhan ‘kan ada di mana-mana.”
“Sudahlah,
setidak-tidaknya orang-orang yang datang ke sini, merasa Tuhan sudah tak ada.
Tak ada perasaan takut lagi. Sebab, bila mereka takut pada Tuhan tentulah
mereka tak akan berfoya-foya di sini”
Dawood
dan Sahlan sama-sama tertawa. Boleh juga saling menertawakan diri mereka
masing-masing. Pasalnya, bertahun-tahun tak pernah jumpa justru bertemu di
tempat yang penuh asyik-maksyuk itu.
Selang
berapa lama, suara adzan Isya melengking tinggi. Kedua sahabat karib itu
benar-benar senyap sejenak mendengar panggilan salat itu.
“Itu
pertanda Tuhan masih ada di sini,” suara Dawood menimpali lagi begitu suara
adzan berakhir.
Keduanya
terdiam serempak. Mendengarkan suara adzan lebih cermat. Sahlan tampak lebih
tertunduk. Dawood memperhatikannya secara seksama.
Sebuah
masjid orang Arab sudah berdiri tegak sejak lama di situ. Bersisian di
sebelahnya ada pula vihara orang-orang India dan sebuah kelenteng, tempat
ibadah orang Tionghoa. Setidak-tidaknya ada pula dua gereja melengkapi kawasan
pemukiman. Hanya letaknya saja berbeda-beda lorong, satu dengan yang lain.
Dawood,
perantau dari Riau sudah bermastautin lama di negeri Singa itu. Kepergiannya
dua puluh tahun silam bermula dari rasa patah hati. Ia menaruh hati pada
Salamah, dara kampung yang molek. Tapi cintanya berakhir tragis. Sedang
bersenang-senang menjalin kasih, tiba-tiba Dawood ditinggalkannya meski atas
perintah ayah dan emaknya. Memang, Salamah pada akhirnya lebih memilih, Hasyim,
lelaki berpunya yang masih ada hubungan saudara-mara dengan Salamah. Kaji punya
kaji, Dawood bisa memahami karena lelaki padanan Salamah memang lebih berpunya dibanding
diri Dawood sendiri.
Kepergian
Dawood meninggalkan kampung halaman, bak ‘berdendam’ untuk mengubah nasib. Ia
ingin berjaya di rantau orang agar hidup lebih bermarwah bila suatu saat balik
ke negeri asal.Ia ingin menunjukkan kehebatannya di mata orang kampung terutama
Salamah dan Hasyim yang sudah berpadu-kasih.
Di
Singapura, Dawood beruntung bisa bekerja di sebuah jawatan kuasa di bidang
transportasi. Bahkan dia sudah punya sebuah flat, tempat tinggalnya. Meski di
usia hampir 40 tahun, lelaki bercambang lebat itu masih saja hidup membujang.
Memang ada satu-dua anak dara Singapura yang pernah berhubungan dekat, tapi
hati Dawood masih tertutup buat mereka. Bahkan ada pula beberapa amoy molek di
tempat kerjanya yang bersimpati, tapi Dawood masih menepis mereka. Tampaknya,
hatinya begitu terluka kala ditolak Salamah dan keluarganya.
“Apa
kabar Salamah?” tiba-tiba Dawood bersuara agak kuat memecah kesunyian yang
melintas beberapa saat di kawasan ‘lampu merah’ itu.
“Hah..masih
terkenang juga pada dara yang telah membunuh perasaan awak itu,” sahut Sahlan
sambil tertawa mengejek. “Sudahlah, Wood, kembang tak setangkai, kumbang pun
tak seekor. Lupakan sajalah perempuan tak setia itu,” tambah Sahlan geram.
“Lan,
bagaimana aku bisa lupa? Kata pepatah Melayu, sedangkan tapi jatuh lagi
dikenang, apatah lagi tempat bermain. Aku dulu berhubungan kasih cukup lama,
Lan.”
“Iya..aku
tahu. Aku faham. Tapi, sejarah yang getir begitu tak perlulah dibalik-balik
lagi. Lagi pula, Salamah sudah beranak-pinak pula dengan Hasyim. Mereka dah
bahagia.” Suara Sahlan agak meninggi. Dawood tampak tak bergeming.
Hening
kembali menyeruak di antara kedua lelaki itu. Suasana di kawasan yang kemudian
mereka sepakati secara kelakar dengan sebutan ‘Daerah Tak Bertu(h)an’ –huruf t
kecil- itu kembali ramai. Ratusan perempuan cantik berkeliaran di tepi jalan
dengan aroma wewangian yang beragam. Mereka semua menunggu para lelaki yang
sebagian sudah menjadi pelanggan. Namun, masih banyak pula yang baru pertama
kali mendatangi kawasan itu seperti diri Sahlan.
Beberapa
hari sebelum mendatangi kawasan hiburan itu, Dawood sudah menceritakan bahwa
tak kurang dari 3000 orang perempuan penjaja diri menggantungkan hidup di situ.
Para perempuan itu berdatangan dari beberapa negara di kawasan Asia. Bahkan,
ada pula yang datang dari Rusia dan Eropa. Dawood hapal betul liku-liku di
situ. Sampai-sampai dirinya berkawan akrab dengan salah seorang centeng
Tionghoa di sana.
Lorong
demi lorong dilewati Dawood dan Sahlan dengan langkah gontai. Maklum, sedari
awal Dawood ingin menggambarkan sisi lain negeri Singapura yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya. Apalagi, Sahlan, sahabat karibnya itu benar-benar
‘orang surau’. Jadi bisa dibayangkan bagaimana Sahlan terus mengucap istighfar
menyaksikan dunia hitam yang sangat bertolak-belakang dengan ajaran kebajikan
yang didalaminya sejak kecil.
Pertemuan
dua sahabat karib setelah dua puluh tahun berpisah itu berakhir dengan
kerinduan. Dawood begitu rindu mendengar kabar dari kampung. Persis di seberang
Selat Melaka. Sahlan pun rindu terus hendak berjumpa menyaksikan keanehan-keanehan
dunia yang selama ini tak pernah tersentuh di negeri seberang itu. Hubungan
telepon di antara mereka terus semakin akrab. Ada-ada saja yang dikabarkan
Sahlan pada Dawood perihal perkembangan di kampung halaman.
Peluang
saling berhubungan ini digunakan Dawood pula untuk menanyakan ihwal bekas
kekasih hati, Salamah. Dalam bayang-bayang di pelupuk matanya, Dawood selalu
saja merasakan kemanjaan Salamah saat berada di pelukannya di masa belia dulu.
Bahkan perasaan itu terasa kian dekat..begitu dekat. Bila Sahlan berkirim kabar
soal Salamah, pastilah Dawood merasakan seolah-olah bayangan Salamah sedang menari-nari
di depan matanya. Dawood begitu merindukan dara molek di masa lalunya itu.
Hari-hari
Dawood semula terasa bagai garis datar belaka. Namun, kabar terbaru dari Sahlan
perihal Salamah benar-benar membuat dirinya menahan napas cukup lama. SMS
Sahlan berbunyi singkat : Wood, Salamah
sakit keras akibat salah satu ginjal tak berfungsi. Sudikah kau menolong?
Lelaki
lajang yang berada di perantauan itu langsung menghubungi Sahlan melalui
telepon bimbitnya. Hatinya berkecamuk bagaikan derum gelombang selat Melaka di
kala musim utara. Ingin dirinya terbang pulang ke kampung, tapi perasaan gusar menyentaknya.
Bukankah Salamah sudah jadi bini orang? Sudah punya anak-anak pula. Seketika, Dawood
merasa dirinya tak berhak apa-apa atas diri perempuan masa silamnya itu.
Tapi
di balik hatinya yang lain, Dawood coba meronta. Bukankah dulu kisah-kasihnya
terpaksa diakhiri karena Salamah mengikuti kehendak hati ayah dan emaknya?
Padahal, pertalian kasih mereka tak pernah terputus barang sedetik pun. Sampai
Dawood merajuk, membawa diri sampai ke negeri jiran? Bahkan, sikapnya tak
hendak menikah dengan perempuan mana pun di perantauan itu mempertegas betapa
dirinya tak pernah lekang melupakan Salamah?
“Lan,
seserius apakah sakitnya Salamah?” begitulah suara Dawood usai menerima SMS Sahlan.
“Seriuslah,
Wood. Ginjalnya tak berfungsi. Akibatnya, dia harus cuci darah setiap hari.
Biayanya begitu besar. Kecuali bila ada orang yang bermurah hati menyumbangkan
sebuah ginjalnya, insya Allah dia boleh pulih lagi.” Sahlan berusaha
menjelaskan secara rinci ihwal penyakit yang mendera Salamah.
“Bila
bertindak cepat, tentulah belum terlambat, Wood. Tapi aku juga tak bisa berbuat
apa.” Sambung Sahlan.
Dawood
lama terdiam di seberang.
“Bagaimana
suami Salamah?” Tanya Dawood tertahan.
Sahlan
bercerita panjang lebar soal Hasyim, suami Salamah. Lelaki itu kini benar-benar
sudah tak berdaya karena pekerjaannya membalak kayu sejak beberapa tahun
terakhir sudah tak berjalan lancar lagi. Pemerintah menganggapnya sebagai
pekerjaan ilegal. Bila dia terus melakukan penebangan di kawasan hutan lindung
di kampung itu pastilah penjara yang akan menanti. Hal ini sudah dialami
teman-teman sesama pembalak seperti Suib, Hadi dan Samiyan. Pastilah Hasyim tak
hendak mengikuti jejak teman-temannya itu berada di dalam bui.
Oleh
sebab itu, keberadaan Hasyim kini benar-benar tak berdaya. Dirinya hanya bisa
pasrah. Apalagi sebagian harta dan tanah yang dimilikinya sedikit di kampung
itu sudah dilepas pula. Dia hanya bisa bermenung pasrah.
Dawood
yang sejak dulu terbilang lelaki pembelas itu langsung memutuskan untuk
menyerahkan sebuah ginjalnya buat Salamah. Kabar pengorbanan Dawood itu
benar-benar menjadi buah bibir orang sekampung. Ada yang berdecak kagum
bagaimana pertahanan cinta-kasih seorang lelaki terhadap bekas kekasih hati
yang sudah jadi isteri orang lain. Tak sedikit pula yang memuji Dawood atas
kerelaan menyerahkan sebuah ginjalnya demi memperpanjang umur Salamah.
Bermacam-macam perdebatan yang muncul ihwal sikap Dawood yang luar biasa.
Lebih
lagi, saat Dawood sengaja menjemput Salamah dan mengajak serta suami dan
anak-anaknya untuk menjalani operasi ginjal di Singapura. Segala biaya
benar-benar atas jaminan dirinya. Bisa dibayangkan, saudara-maa Dawood di
kampung begitu mencerca dan menyatakan Dawood sudah gila. Tapi Dawood tak
begitu peduli.
Bagi
dirinya yang dibesarkan dalam adat-resam Melayu, bila kata hati sudah pasti tak
ada aral apa pun yang dapat menghalangi. Bak kata pantun lama: buah kemumu, buah bidara/ sayang selasih
diluruh/ hilanglah emak hilang saudara/ kekasih hati diturutkan.
Sepekan
di Singapura, usai menjalani operasi pencangkokan ginjal di Mount Elizabeth
Hospital, kondisi Salamah dan Dawood sama-sama mulai pulih. Meski bersisian
bilik di rumah sakit itu, Dawood selalu lebih bergairah untuk menjenguk
Salamah. Dia bagai tak begitu mempedulikan Hasyim yang lebih banyak bermenung
menjaga isterinya. Hasyim benar-benar tak berdaya bila mengenang bagaimana
nasib isterinya justru dipertaruhkan orang lain. Bahkan orang itu adalah Dawood
yang pernah bermadu-kasih dengan isterinya. Rasa bersalah, pelan-pelan
menyeruak dalam benaknya saat menyaksikan bagaimana keangkuhannya merenggut
Salamah dari pelukan Dawood.
Mendengar
gelagat Dawood yang berada di luar alur-patut saat memberi perhatian lebih pada
Salamah yang sudah jadi isteri orang, Sahlan masih mencoba menyadarkan sahabat
karibnya. Berulang-ulang, Sahlan membisikan hal itu baik saat berjumpa selama
Salamah dirawat di Singapura maupun setelah berpisah lagi dengan Dawood.
“Dawood,
tak elok mengejar-ngejar bini orang. Kau akan dipandang mulia bila
pengorbananmu pada Salamah dilakukan atas dasar ketulusan,” kata Sahlan selalu.
“Dawood…jangan
kau pandang semua tempat menjadi ‘Daerah Tak Bertu(h)an’. Kau keliru..sangat
keliru, Wood!” lanjut Sahlan.
“Lan..aku
sudah memutuskan akan menikahi Salamah!” begitu suara tegas Dawood lewat
telepon pada Sahlan di suatu petang.
“Masya
Allah, Wood. Tak elok merebut bini orang. Allah akan murka. Orang sekampung
juga akan murka.”
Sepekan
berselang, Dawood harus menelan ludahnya sendiri. Kata hati yang pasti
sebagaimana diucapkannya berulang-ulang sama sekali tak bisa mengalahkan
kehendak Allah.
Kata
dokter, tubuh Salamah tidak serta-merta bisa menerima organ ginjal orang lain.
Dawood tak habis-habis menangis. Lelaki bertubuh kekar itu tersungkur.
Gelombang
selat Melaka berguncang deras. (diinspirasi
bersama dheni kurnia)
****
Pekanbaru, 16.2024
Catatan:
merapek = mengada-ada, main-main
telepon bimbit = handphone
bermastautin = menetap,
bertempat tinggal
pembelas = cepat
merasakasihan
adat-resam = ajaran
adat-istiadat
aral =
rintangan, halangan
papa-kedana = jatuh miskin
yang sedalam-dalamnya