TERKINI

Gerbang Takdir - Nunung Noor El Niel

@kontributor 4/28/2024
Nunung Noor El Niel
Gerbang Takdir




wajah pucat membungkus rahasia kata-kata
di mana gairah tak lagi didesahkan 
hingga jelang pergantian musim
buku cerita hidup telah khatam
tak lagi beralmanak

katamu, 
"hanya orang kudus dan bersih hidupnya
boleh ke sana
pendosa tak boleh mendekatinya"

kusaksikan pohon perempuan tumbuh 
di halaman rumah puisimu
menjadi hasrat
yang basah 

kau dapat memetik dan menikmati
buah kedamaian, lebat dan abadi
di pekarangan eden

doa-doa dilantunkan
di antara air mata 
karam di lipatan 
waktu

pagi menjadi pelaminan duka
selamat jalan, Jokpin
kuantar kau
ke gerbang takdir

JKT 27 4 24

Berguru Puisi pada Jokpin - Emi Suy

@kontributor 4/28/2024
BERGURU PUISI PADA JOKPIN
Emi Suy




Pertemuan Penuh Hikmah

Saya pertama kali jumpa penyair Joko Pinurbo -yang biasa akrab dipanggil Mas Jokpin- di Goethe Institut Jakarta dalam sebuah acara saya sastra pada tahun 2014. Pertemuan kami selanjutnya terjadi pada tahun-tahun berikutnya dalam banyak acara sastra, antara lain di Toeti Heraty Museum Cemara 6 Galeri, Perpustakaan Nasional, Bentara Budaya Jakarta, Gramedia Jakarta, Acara Ibadah Puisi di Pasar Seni Ancol, Yogyakarta Literary Festival, serta Kafe Basabasi Yogyakarta.

Saya selalu memaknai pertemuan itu sebagai pertemuan antara murid dan guru, di mana saya yang mendaku diri sebagai murid Mas Jokpin, meskipun beliau tidak pernah menganggap saya murid melainkan sahabat. Saya mendapat banyak pelajaran penuh hikmah baik soal sastra – terutama puisi – serta yang tidak kalah penting adalah pelajaran tentang kehidupan yang bermakna.

Mas Jokpin seorang penyair besar yang mempunyai kepribadian yang sangat rendah hati, humoris dan ramah, big name but low profile. Beliau tidak pilih kasih dalam memberikan dukungan kepada para penulis dan penyair, terutama penulis muda yang sering dianggap masih pemula. Semua diberikan semangat yang luar biasa sehingga mereka percaya diri dalam mengekspresikan pengalaman dan pengetahuannya ke dalam karya sastra. 

Saya sangat beruntung bisa berkomunikasi dengan Mas Jokpin secara langsung tentang apa saja. Tidak hanya melulu soal puisi, tapi juga kehidupan secara luas yang meliputi masalah sosial budaya bahkan politik. Beliau juga sempat memberikan prolog untuk dua buku kumpulan puisi saya: Alarm Sunyi (2017) dan Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami (2022). Mas Jokpin mendedah buku Alarm Sunyi sebagai sunyi yang ambigu, dan menyampaikan bahwa ibu yang saya angkat dalam kumpulan puisi terbaru saya sebagai kampung halaman penyair. 

Saya merasa dekat sekali dengan Mas Jokpin lantaran saya begitu akrab dan menyukai karya beliau. Dekat tak hanya dalam konteks intens berkomunikasi, tetapi saya merasa dekat melalui membaca buku-buku beliau yang selalu mencerahkan pikir dan rasa. Setiap usai membaca buku Mas Jokpin saya selalu merasa makjleb. Kepiawaiannya merangkai diksi yang berasal dari benda-benda yang dekat dengan keseharian kita, seperti celana, telepon genggam, kamar mandi, tahi lalat, sarung dan lainnya, dengan sangat luar biasa dikisahkan kembali secara memikat. Tak sedikit puisi yang makjleb itu terkandung humor yang segar dan menggugah, mengajak kita masuk ke dalam relung pemaknaan yang dalam. Bagi saya membaca sajak-sajak Mas Jokpin tidak perlu mengernyitkan dahi sebab hampir semua tulisan beliau mudah dipahami dan selalu meresap di hati.

Beliau pernah bilang kepada saya: "Teruslah menulis dan produktif, Em", demikian pesan Mas jokpin pada suatu waktu. Kata-kata itu saya pegang sebagai “jimat” yang membangkitkan semangat dalam menggauli dunia sastra yang masih juga sepi dengan penulis perempuan.

Selain itu, Mas Jokpin juga sempat mengenalkan Ananda Sukarlan ke saya. Beliau menyarankan agar saya membangun kontak dengannya. Itulah titik mula, saya akhirnya kenal dan bekerja sama dengan Mas Ananda hingga sekarang, salah satunya menjadi librettist untuk opera: "I'm not for sale".
Ibadah Puisi Jokpin: Pelajaran Laku Puisi yang Tak Terlupakan

Ada satu hal yang menarik bagi saya, yaitu dalamnya penghayatan kehidupan puisi oleh Mas Jokpin yang menganggap laku sastra sebagai ibadah. Kata “ibadah” seakan membawa saya (mungkin juga kita semua) pada rasa tulus ikhlas dalam menjalani laku puisi yang sunyi ini, puisi yang selalu dianggap tidak dapat menghidupkan ekonomi penulisnya, tetapi membawa kedamaian batin dan ketenangan jiwa.

Banyak puisi Mas Jokpin yang mengulik tema persaudaraan, hubungan antar manusia, kesepian, sosial, budaya populer, kegembiraan kanak-kanak, imajinasi yang menggunakan benda-benda keseharian yang memiliki aspek luaran (kulit) dan dalaman (isi), dan kelucuan (humor) yang dibalut ironi terasa seperti tidak kehilangan jiwa kanak-kanak yang asyik bermain, tapi sekaligus membawa makna bagi orang dewasa yang mau merenungi kata-kata dalam kisah-kisahnya yang kadang agak ganjil tetapi riil. 

Ada beberapa poin yang saya catat ketika belajar puisi (secara diam-diam) dengan Mas Jokpin, di antaranya: Pertama, ambil objek kisah yang terdekat dengan kehidupan kita hari ini. Kedua, jangan berpikir yang jauh-jauh, seakan mau menciptakan surga untuk dunia nyata. Ketiga, membaca karya para penyair terdahulu, dengan mengusung tema yang serupa kita bisa melakukan pengungkapan secara berbeda dalam konteks masa kini. Keempat, kita harus memiliki kesadaran toleransi puisi, misalnya Chairil Anwar yang beragama Islam pernah menulis tentang Nabi Isa (dalam sajak Isa) dengan sangat dahsyat; Sitor Situmorang yang seorang Kristen pernah menulis Malam Lebaran yang berisi satu baris magis: bulan di atas kuburan. Subagio Sastrowardoyo pernah menulis Yesus Kristus yang lahir dengan putih wajah, serta Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentang penyaliban di Golgota dalam sajak Duka-Mu Abadi.

Tema puisi boleh sama dengan penulis terdahulu, tapi tulislah dengan pengungkapan yang berbeda, harus berbeda! Itulah kreativitas seorang penyair. Satu tema bisa menjadi berbagai bentuk dengan isi yang aneka macam. Kita bisa membandingkan gaya ungkap yang pernah digunakan para penyair sebelum kita, artinya kita tetap mengamalkan “tradisi puisi”; apa-apa yang sudah berlaku untuk puisi tetapi dengan cara melampauinya atau setidaknya melakukan inovasi dan transformasi atasnya. 

Intinya banyak membaca karya besar para penyair terdahulu, tetapi dengan melakukan pengucapan yang berbeda dan teknik yang sesuai dengan pengucapan sendiri. Meniru tetapi tidak mentah-mentah, tetap ada penambahan di sana-sini, gaya teknik yang kita ciptakan sendiri dengan dahsyat dan rasa yang dalam. 

Satu hal lagi ajaran Mas Jokpin yang tidak akan ssaya lupakan, yaitu rajin menabung, yaitu menabung kata, satu hal yang sering Mas Jokpin ulang-ulang. Seorang penyair harus mencatat kata-kata baru di setiap kesempatan, kemudian nanti diolah menjadi beberapa sub judul puisi. Itulah yang disebut menabung kata menurut Mas Jokpin. Kata adalah harta paling berharga bagi penyair, oleh karena itu mesti ditabung untuk masa depan.

Menulis ulang dengan cara yang berbeda juga dikerjakan oleh Mas Jokpin. Chairil Anwar menulis Nabi Isa dengan dahsyat, tapi Mas Jokpin melukiskan Yesus dengan cara yang lebih rileks pada tahun 2003, yaitu pada puisi Celana Ibu, yang ada di kumpulan puisinya yang pertama; Celana. Kumpulan puisi tersebut, terutama yang berjudul Celana sempat menuai kontroversi, tapi kemudian dapat diterima, bahkan menjadi lagu yang sering dinyanyikan pada saat Hari Natal dan Paskah. 

Puisi yang berat beban muatannya akan menemukan titik stagnan, begitu kata Mas Jokpin. Jika menemui hal demikian, puisi mesti dipecah menjadi beberapa bagian sub judul, kemudian dikembangkan lagi menjadi beberapa konsep. Setelah menjadi beberapa file puisi, puisi telah ada di ruang inkubasi, dan kita bisa kembali menengoknya untuk melakukan pendalaman dan editing hingga merampungkannya menjadi benar-benar puisi. Metode inilah yang akan memecahkan beban berat itu. 

Mas Jokpin juga menegaskan bahwa tema berbeda dengan perspektif, tema puisi sejak dulu banyak tentang cinta, maut, kehidupan, tetapi perspektif seorang penyair akan menentukan bagaimana bentuk dan isi puisi tersebut, serta bagaimana pengucapannya sangat ditentukan oleh pengetahuan kebahasaan seorang penyair (terutama yang menyangkut kelisanan).

Mas Jokpin juga menyinggung, kesulitan lainnya dalam menulis puisi adalah tidak percaya pada kata. Bahwa setiap kata sebenarnya punya kekuatan tersendiri. Kalau kita percaya pada kata, maka kita harus kejam dalam menggunakan dan memainkan diksi. Penyair harus berani memangkas jangan disayang-sayang, kata beliau. Percayalah setiap kata mengandung makna. Percaya kepada pembaca. Bahwa pembaca akan bisa menghayati makna tanpa harus kita menjelaskannya. Percayalah pada proses kreatif kita. Penyair harus efisien menggunakan logika terhadap tragedi, bermain ironi, dan mesti tajam melihat ke mana langkah kata pergi. Kesimpulan menulis selalu 25 persen, sisanya 75 persen adalah mengedit. Begitulah kerja menyair menurut Mas Jokpin.

Kabar yang Mendukakan: Mas Jokpin Berpulang, tapi Tak Ada Kata “Perpisahan”

Mas Jokpin telah menghasilkan kurang lebih 18 buku karya sastra. Buku yang paling banyak tentu saja buku puisi, sebab beliau tak lain tak bukan adalah penyair tulen. Saya sebagai murid yang tak pernah diakui beliau senantiasa belajar dari buku-bukunya itu. Setiap membacanya saya merasa didekatkan dengan suara beliau yang ringan tetapi mengesankan. 

Mas Jokpin selain sebagai guru adalah seorang penyair besar di jagat kesusastraan Indonesia, bahkan sampai negeri seberang, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan lainnya, beliau dikenal secara baik dan dihargai. Mas Jokpin penyair besar yang tak pernah merasa diri besar, beliau selalu rendah hati.

Suatu kali setelah menyerahkan buku Api Sunyi padanya, beliau mengirimi saya pesan:

Sunyi itu menjernihkan.
Sunyi itu menerangi.
Sunyi itu menyalakan kreativitas.
(Jokpin)

Pesan yang mengandung “sunyi” seakan membawa saya masuk ke relung batin dunia kepenyairan. Saya merasa sangat berterima kasih kepada Mas Jokpin atas dorongan semangat dan pelajaran yang berharga dalam setiap percakapan yang hangat. Terima kasih banyak, Mas Jokpin, sugeng tindak. Semoga tenang, damai dan bahagia di keabadian bersama-Nya. Mas Jokpin telah pergi dalam usia yang belum genap 62 tahun (11 Mei 1962 – 27 April 2024). 

Di satu wawancara dengan Bentara Budaya Yogyakarta, Mas Jokpin sempat mengutarakan alasannya kepada pewawancara ketika ditanya soal mengapa puisi-puisinya semakin pendek, beliau mengatakan, “Mungkin karena napas saya tidak panjang lagi seperti dulu.”

Mas Jokpin, penyair bertubuh kecil tapi adalah seorang penyair besar itu berpulang. Sabtu pagi, 27 April 2024, kabar duka itu datang menggedor dada saya dan dada kita semua. Banyak surat kabar memberitakan kepergiannya.

Mendengar kabar kau terbang ke bulan bukan mengambil baju lebaran,
tapi kau bertemu Tuhan. 

Saya membayangkan bulan berkata;

"di perak warnaku
aku melihatmu di peluk Tuhan -- tapi di bawah
di atas tanah yang kau pijak
ada bunga salip putih dan lilin menyala
di antara bingkai wajah puisi
mengantar kepergianmu
abadi"

Selamat jalan, penyair, kau boleh tiada, tapi puisimu abadi, hidup dalam hati kami. Selamat jalan, penyair, kini napasmu tak lagi sesak, kini tubuhmu terbebas dari rasa sakit. Kalau orang-orang mengenangmu sebagai penyair, aku mengenangmu sebagai sumber mata air puisi dari waktu ke pintu, aku mengenangmu sebagai guru, istirahatlah dengan damai dan tenang dalam kasih Tuhan. Kepergianmu ... duka milik kita, tapi cinta-Nya yang besar mendekapmu, damai.”

Aku bersunyi mengheningkan diri mengenangmu dalam doa dan puisi. Rasa kehilangan duka sedalam perasaan nyatanya ... sunyi di luar gaduh di dalam. Saya  sungguh merasa berhutang budi kepada Mas Jokpin, dan merasa kehilangan sosok beliau. Saya belajar menjahit kata-kata kepada Mas Jokpin. Saya membaca kehidupan dalam sajak-sajak beliau yang begitu dekat dengan keseharian. Hingga suatu hari, saya merenung lalu menyimpulkan, bahwa sebenarnya yang mengajari kita menjahit adalah luka, maka kita perlu berterima kasih pada kehidupan, pada ketiak baju mestak celana dan koyak di saku yang terkadang menumpahkan rasa dan perasaan.

Jika saya boleh meringkaskan Mas Jokpin dalam beberapa kata, maka kata-kata itu adalah: cerdas, kreatif, rendah hati, bersahabat, motivator, inspirator, guru, serta pembimbing atau mentor.

Selamat jalan, Mas Jokpin, selamat jalan Guruku..


Penyair Celana - Jusiman Dessirua

@kontributor 4/28/2024
Jusiman Dessirua
Penyair Celana 



setelah bergulat dengan tuhan di bukit kata-kata 
yang maha kuasa tak memberinya firman,
ia malah diberi ponsel, kaleng biskuit,
dan berlembar-lembar celana. 

karena heran dan bingung 
ingin dikemanakan benda-benda itu, 
suatu malam ia putuskan memasukkannya, 
ke dalam puisi dan denganya ia jadi penyair celana. 

sebagai penyair celana ia membuat orang
percaya, agar tak kedinginan, semua hal 
berhak mengenakan celana;
anak, ibu, juga bulan sekali-pun. 

puisinya membikin orang-orang percaya; 

bahwa bahasa Indonesia 
walau rumit, terkadang bisa 
lucu dan menggemaskan. 

bahwa yang baik 
akan senantiasa
berbiak. 

bahwa segala yang rumit
akan jadi mudah
dengan mudah-mudahan

bahwa semua orang 
bisa
naik ke sorga. 

setelah semua orang percaya
ia puun mengenakan celana Tuhan
dan naik ke sorga

Jalan Pulang - Rissa Churria

@kontributor 4/28/2024
Rissa Churria
JALAN PULANG




Kau sudah mangkat duluan
Aku susul kemudian
Sajak-sajakmu sudah purna
Baris-baris puisiku
masih di perjalanan

Kini air matamu sudah terbit di mataku
Tak lagi kudengar rintih sakit
Dan sengal napas berlarian

Kau telah sampai di perbatasan
Meski pilu merajah hari
Pada prasasti kesepian
Aku tanam kamboja 
Yang menyimpan segala pesan

Jakarta, 28.04.2024

Setelah Ia Tertidur - Erna Winarsih Wiyono

@kontributor 4/28/2024
Erna Winarsih Wiyono
Setelah Ia Tertidur



Ia pergi dalam sedimentasi waktu
Pada jarak yang dinamakan "rindu"
Rumah itu kembali hening
Menjadi bilangan nol

Jejak jejak berkisah
Melahirkan ragam corak warna
Dialog yang tak habis dimakan rayap
Abadi dalam rengkuhNYA

Jalan yang dituju sudah dekat
Datang tidak sendiri
Mendekap kitab perenungan
Puisi puisi 
Puisinya juga puisiNYA

Ia tidak hilang
Ada di hati kami

Jakarta, 28 April 2024

Gelas Teh Bapak - Febri Saptowo

@kontributor 4/28/2024
Gelas Teh Bapak
Febri Saptowo




Mamak, panggilan kami kepada ibu kami, baru saja meletakkan gelas berisi teh di atas meja makan. Dia membuat teh dengan sedikit cepat agar tidak tertinggal sinetron kesukaannya, padahal seharusnya Mamak tahu kalau iklan ketika sinetron itu tayang akan berlangsung lama. Teh dibuat untuk Bapak, biasanya Bapak akan minum teh setelah tadarus sehabis salat isya baru kemudian makan malam.

Bapak tidak perlu mengingatkan Mamak untuk membuatkan teh karena sudah setiap malam Bapak menunda makan untuk tadarus. Mamak baru akan membuatkan teh selepas dia salat isya, sebab dia tahu Bapak bisa menghabiskan waktu satu sampai dua jam untuk tadarus. Bapak baru akan makan ketika jam telah menunjukkan pukul sembilan malam dan teh yang disiapkan Mamak sudah hampir dingin, tetapi tetap disukai Bapak.

Bapak tidak terlalu menyukai makanan atau minuman manis, entah karena usia atau karena memang itu seleranya sejak muda. Mamak juga telah hafal dengan itu, ia pernah bilang kalau ingin membuatkan teh untuk Bapak cukup masukkan sejumput teh tubruk, lalu tambahkan satu sendok teh gula. Selera Bapak yang tidak suka manis sepertinya menurun kepada anak-anaknya, aku dan kakak-kakakku tidak terlalu menyukai makanan manis. Teman-temanku bahkan pernah sekali bingung ketika aku bilang aku lebih menyukai belimbing sayur dibandingkan semangka. 

Rutinitas malam Bapak dan Mamak selalu saja sama setiap harinya. Bapak akan pergi ke masjid untuk salat magrib, Mamak salat di rumah. Setelah pulang Bapak akan langsung tadarus dengan suara nyaringnya yang terdengar sampai ruang tamu, sementara Mamak duduk menonton sinetron di ruang keluarga. Ketika azan isya telah terdengar suara tadarus Bapak akan terhenti, itu pertanda kalau Bapak langsung salat isya dan Mamak masih dengan tatapan serius menonton sinetron, sesekali mencela pemain di dalamnya. Setelah beberapa menit, suara tadarus Bapak akan kembali terdengar, kali ini Mamak menuju dapur dan meletakkan gelas teh Bapak yang masih hangat di atas meja makan.

Entah karena rutinitas yang sama setiap harinya atau memang karena usia pernikahan yang puluhan tahun, aku jarang sekali mendengar Bapak dan Mamak ribut. Mungkin nyaris tidak pernah. Memang, Mamak pernah bilang ketika Bapak sedang marah, ia tidak akan melawan, ketika Mamak sedang marah, Bapak tidak akan membantah. “Kalau Bapak sedang jadi api, Mamak tidak boleh ikutan jadi api,” ucapnya kala itu.

Pernah sekali Bapak menghadiri undangan yasinan di tempat tetangga, ia tidak pulang dahulu sehabis salat magrib di masjid. Namun, Mamak tetap menyiapkan teh di dalam gelas Bapak dan meletakkannya ke atas meja, bahkan ia menghangatkan makanan untuk makan malam Bapak. Aku melihatnya, seolah tahu apa yang ada di kepalaku, Mamak langsung berujar, “Bapak tidak akan makan di tempat yasinan, dia pasti makan di rumah,” aku hanya mengangguk dan kembali ke depan televisi.
Ketika Mamak baru saja meletakkan makanan yang baru dihangatkan ke atas meja, Bapak mengetuk pintu dan mengucap salam dengan suara beratnya. Dia membawa bancakan, santapan yang biasa disediakan ketika hajatan atau yasinan, lalu memberikannya padaku. Aku membuka bancakan yang baru saja diberi Bapak, isinya seperti semua bancakan yang aku tahu; nasi, telur rebus, orek tempe, urap, kerupuk udang, dan sebuah pisang. Aku mengambil sendok untuk memakan bancakan itu, sedangkan Bapak langsung menuju meja makan. Seperti biasanya, Bapak tidak makan bancakan yang ia bawa, ia langsung makan makanan yang tadi dipanaskan oleh Mamak.

Malam berikutnya berlangsung seperti setiap malam selama ini. Bapak pulang salat magrib, lalu tadarus dengan suara nyaringnya yang terdengar sampai ruang tamu. Sedangkan, Mamak masih menatap serius ke sinetron kegemarannya sambil sesekali mencela pemeran di dalamnya. Setelah azan isya berkumandang, suara tadarus Bapak tidak terdengar, tanda kalau Bapak sedang salat isya, Mamak masih di depan sinetron kegemarannya. Ketika suara tadarus Bapak terdengar kembali, Mamak pergi ke dapur dan memasukkan sejumput teh tubruk dengan satu sendok teh gula ke dalam gelas Bapak. Mamak kemudian meletakkan gelas itu di atas meja makan. Setelah sekitar pukul sembilan, Bapak menuju meja makan dan menyeruput teh yang telah disediakan Mamak.

Setiap malam terus berlangsung seperti itu, hingga suatu malam sinetron kegemaran Mamak tidak tayang karena televisi tempat sinetron tersebut sedang berulang tahun dan yang ditayangkan adalah konser musik. Seolah butuh asupan sinetron, Mamak mengganti saluran satu per satu untuk mencari sinetron lain yang ada sampai tangannya berhenti di satu saluran televisi yang menampilkan sebuah sinetron yang jarang Mamak tonton. Mamak tetap menatap layar televisi dengan serius dan sesekali mencela pemain di dalamnya walau itu bukan sinetron yang ia gemari. Seperti tidak masalah sinetronnya tidak ada, asal ada penggantinya.

Bapak kemudian pulang dari masjid ketika Mamak masih serius menonton sinetron. Bapak masuk ke ruang salat dan suara tadarus terdengar sesaat setelah itu. Azan isya lalu berkumandang, suara tadarus Bapak tidak lagi terdengar, tanda kalau ia sedang salat isya. Mamak masih menyantap sinetron di televisi, aku duduk agak di belakangnya ikut memerhatikan sinteron yang Mamak tonton. Ketika jeda iklan muncul, Mamak sesekali mengarahkan pandangannya ke ruang salat, lalu menatap televisi lagi ketika sinetron telah mulai.
Saat memasuki jeda iklan kembali, Mamak kembali menatap ke arah ruang salat. Belum ada suara tadarus dari Bapak, sepertinya Bapak masih salat isya, walau ini lebih lama dari biasanya. Mamak kemudian berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang salat dan melihat ke dalamnya. “Le! Sini Le!” Mamak berteriak memanggilku, aku langsung menghampirinya, Mamak langsung menunjuk ke arah Bapak, “Bapakmu itu, loh,” aku melihat ke arah Bapak, Bapak dalam keadaan tertelungkup. Aku langsung menggoyangkan badan Bapak sambil memanggilnya pelan, Bapak tidak menjawab. Aku segera bergegas mengangkat Bapak dan memanggil kakakku untuk segera menghidupkan motor dan membawa Bapak ke rumah sakit.

Malam itu, tanpa pertanda apa pun, Bapak telah berpulang di tengah salat isyanya yang terakhir. Mamak terguncang mendengar itu, tatapannya kosong, kemudian pingsan seketika itu juga. Yasinan digelar selama tujuh hari berturut, Mamak tidak seperti biasanya, kadang ia melamun, walau tetap sambil mengisi bancakan untuk tetangga yang datang. Telur rebus, orek tempe, urap, kerupuk udang, dan pisang Mamak masukan satu per satu ke dalam besek. Tidak ada air mata yang jatuh dari mata Mamak, walau aku tahu setiap pagi mata Mamak selalu bengkak, bekas tangisnya selagi tidur.

Di hari ke delapan, setelah tidak ada yasinan lagi, Mamak menyalakan televisi dan menonton kembali sinetron kegemarannya. Matanya menatap televisi, tetapi pikirannya entah ke mana. Tidak ada celaan keluar dari Mamak. Setelah agak lama hanya suara sinetron yang terdengar, azan isya berkumandang, sinetron memasuki jeda iklan, Mamak beranjak ke dapur, dan memasukkan sejumput teh dengan satu sendok teh gula ke dalam gelas Bapak, lalu meletakkannya ke atas meja makan. Setelah itu, Mamak kembali menonton sinetron. Aku hanya melihat gelas teh Bapak di atas meja yang entah untuk siapa.

Pagi ketika aku bangun, Mamak telah ada di dekat meja makan, sedang menatap gelas teh Bapak yang ia sediakan semalam. Gelas itu masih penuh berisi teh, mata Mamak menatap penuh nanar. Malamnya, setelah azan isya dan sinetron kegemaran Mamak memasuki jeda iklan, Mamak menuju ke dapur dan menyiapkan teh ke dalam gelas Bapak. Meletakkan gelas teh itu di atas meja dan kembali menonton sinetron. Keeseokan paginya, Mamak kembali menatap gelas teh Bapak yang masih penuh itu dengan nanar.
Di malam selanjutnya, Mamak masih mengulangi kebiasaan itu. Gelas teh Bapak yang terisi penuh diletakkan di atas meja makan. Gelas teh Bapak bermalam sendirian di atas meja makan tanpa ada yang menyentuh. Hingga pagi tiba dan Mamak masih saja menatap nanar gelas teh Bapak itu. Aku tidak bisa memarahi Mamak dan menyuruhnya berhenti, dia pasti akan masuk kamar dan keluar dengan mata sembab. Ketika Mamak masih menatap gelas teh Bapak itu, aku langsung mengambil gelas tersebut dan meminum habis teh di dalamnya. Berusaha memberi tahu Mamak kalau Bapak tidak akan pernah meminum teh itu lagi. Mamak hanya menatapku dengan bingung, aku meninggalkan Mamak dan masuk ke kamar mandi.

Malam harinya Mamak masih menonton sinetron kegemarannya, hingga azan isya berkumandang dan sinetron memasuki jeda iklan. Mamak beranjak ke dapur untuk membuat teh. Aku tidak tahu kapan Mamak akan berhenti melakukan itu. Ketika baru saja meletakkan gelas teh ke atas meja, aku menghampiri Mamak, berusaha untuk memberi tahunya, “Mak,” ucapku pelan. Seperti tahu apa isi kepalaku, Mamak langsung menjawab, “Buat kamu, Le,” kali ini aku yang menatapnya bingung, “Minum, gih,” lanjutnya. Aku kemudian langsung mengambil gelas teh Bapak, meneguk isinya sampai habis, Mamak tersenyum. Aku langsung meninggalkan Mamak dan masuk ke ruang salat, air mataku jatuh membasahi sajadah yang biasa dipakai Bapak untuk tadarus dengan suara nyaringnya yang terdengar sampai ruang tamu.

Kisah Maling yang Tolol - Muhammad Ilfan Zulfani

@kontributor 4/14/2024

Kisah Maling yang Tolol

Muhammad Ilfan Zulfani



Ini adalah kisah seorang pencuri dan sehelai sapu tangan.

Saat dalam keadaan hampir tertidur, pada suatu malam, aku terjaga lagi karena suara-suara tidak normal yang tiba-tiba kudengar. Aku punya gejala hiperakusis, sebuah kondisi yang membuatku sangat sensitif dengan suara-suara yang sebenarnya sepele.

Itu jenis suara yang cukup jarang kudengar di tengah malam begini. Biasanya aku hanya mendengar suara pintu kamar mandi berderit di malam hari karena lupa ditutup, suara gemuruh pendingin ruangan, detak jam dinding, atau… suara-suara batin yang sahut-menyahut di dalam pikiranku.

Tapi malam ini aku mendengar seseorang sedang berjalan berjingkat-jingkat, cukup jelas. Apalagi dia kadang juga menginjakkan kakinya dengan normal, makin jelas.

Aku segera bangun dari tempat tidur. Dan, ah sial, karena aku masih dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, aku melakukan gerakan bangun dengan cepat sehingga membuat kasurku yang tidak begitu kokoh ini berbunyi.

Suara yang aku dengar selanjutnya adalah suara kaki yang berlari, dan lalu, motor yang digas kencang. Barangkali dia memang mengira seseorang telah bangun dengan suara denyit kasur itu.

Dalam kalkulasi rasional si maling, kabur berlari dan mengegas motor dengan kencang lebih mungkin selamat daripada hanya berupaya bersembunyi di dalam rumah, melawan penghuni, ataupun kabur dengan gerakan diam-diam.

Bisa jadi dia telah mempelajari hal tersebut di dalam buku 1001 Teknik Mencuri Agar Tidak Ketahuan atau Setidaknya Tidak Tertangkap. Tak usah kaucari buku itu benar-benar ada atau tidak.

Karena aku sudah ngantuk, aku tidak memeriksa barang apa yang hilang. Hanya mengunci pagar dan pintu, lalu tidur kembali. Toh, peristiwa pencurian itu telah terjadi.

Keesokan harinya aku baru memeriksa isi rumah dan mendapati satu buah laptop mahal meski-mereknya-tidak-begitu-terkenal, setumpuk uang tunai sebanyak satu juta dua puluh lima ribu rupiah, dan dua buah ponsel kebanggaan Steve Jobs raib.

Aku menghembuskan nafas syukur karena teringat semua data-data penting di semua gawaiku telah kucadangkan di cloud. Aku segera menuju gawai yang tersisa yakni sebuah komputer ber-CPU —yang tentu saja agak ribet diangkut si maling— untuk mengeluarkan akun Google-ku di semua gawai serta mengganti kata sandinya. Beres. 

Ketiga barang yang hilang tadi ada di meja yang sama dan mereka tampil begitu vulgar di ruang tengah, tepatnya di depan televisi. Mudah sekali buat si maling.

Baru saja aku ingin melanjutkan hari, tiba-tiba aku melihat sehelai sapu tangan berwarna biru teronggok di atas lantai.

Ya… ya… aku ingat. Sapu tangan itu terakhir kali aku letakkan di depan televisi bersama barang-barang yang hilang tadi. Aku taruh di situ setelah melipatnya dengan takzim, rapi sudut-sudutnya, dan tentu saja setelah kusemprotkan parfum terbaik.

Hanya sapu tangan ini saja yang tak diangkut si maling.

Wah, waduh, gila! Mana bisa?

Aku telah memaafkan si maling, sembilan menit setelah dia kabur dari rumahku atau empat menit sebelum aku terlelap. Tapi kali ini aku menarik pemberian maaf itu.

Bagaimana bisa seorang maling tidak mencuri sapu tanganku?

Pagi ini, aku berangkat kerja dengan perasaan hati yang tidak nyaman. Baju dari penatu yang biasanya kusetrika lagi agar lebih rapi, pagi itu tidak aku lakukan. Sarapan nasi uduk yang dibeli di depan komplek tidak kuhabiskan. Aku pun berangkat kerja dengan ojek daring, tidak dengan motor seperti yang sudah jadi kebiasaan. Khawatir terjadi apa-apa di jalan dengan perasaan galau demikian.

“Kamu kenapa?” kata salah seorang rekan kerjaku, “lebih pendiam dari biasanya”.

“Tidak apa-apa.”

“O iya. Tumben pakai komputer kantor. Biasanya bawa sendiri.”

“Laptopku dicuri.”

“Oh, sebab itu kamu bersedih?”

“Bukan.”

“Selain itu, memangnya apa lagi yang dicuri?”

“Uang sekitar 1 juta dan dua buah ponsel pintar.”

“Yang bikinan Steve Jobs itu? Oh, wajar jika harta semewah dan semahal itu membuatmu bersedih.”

“Bukan.”

Aku berusaha fokus mengerjakan tugas di kantor hari itu dengan hati yang tercabik-cabik. Begitu pukul empat sore, aku langsung cabut dari kantor.

Hari itu aku benar-benar berduka.

Malam hari tiba dan, syukurlah, aku bisa tertidur meski dengan banyak pikiran.

Tapi “banyak pikiran” ini telah membuatku lupa mengunci pintu.

Seorang maling yang sepertinya lebih profesional masuk ke rumah dengan lebih rapi (aku tidak tahu persis apakah dia maling yang sama dengan hari sebelumnya). Si pencuri tak menghasilkan suara yang membuat penghuni curiga bahkan bagi seorang yang mengidap hiperakusis sekalipun.

Apa yang dicurinya? Televisi yang pernah kusinggung sebelumnya. Itu bukan televisi tipe biasa. Harganya cukup mahal, dengan suara dan gambar yang sangat baik. Aku beli karena aku bukan hanya hobi “menonton” film, tapi juga “merasakannya”. Harganya 11 juta rupiah (paragraf ini tidak seperti iklan, bukan?).  Sangat lumayan buat maling yang mengambilnya dengan cuma-cuma, terlebih dari pemiliknya yang teledor.

Ia pun mengambil beberapa barang-barang elektronik kecil yang harganya juga lumayan seperti earphone. Lagi-lagi, itu bukan penyuara telinga murahan. Harganya hampir lima ratus ribu. Begitu juga powerbank yang harganya hampir enam ratus ribu, mampu mengisi daya lebih cepat dan dengan kapasitas daya 10.000 mAh.

Tak salah aku menyebutnya sebagai maling yang lebih profesional karena dia bisa mengangkut televisi sebesar itu dengan lebih tidak berisik dibandingkan maling sebelumnya. Dia juga bisa mengenali barang-barang kecil yang mahal.

            Aku langsung menyadarinya pagi itu karena hilangnya televisi yang besar itu benar-benar mengubah pemandangan ruang tengah.

            Aku terkulai lemas bertopangkan sekujur kaki mirip posisi duduk di antara dua sujud, menarik dan menghembuskan nafas lebih cepat seperti biasanya.

            Tidak cukup tragedi terjadi kemarin, ternyata hari ini pun tragedi yang sama berulang.

            Sapu tangan itu tidak ikut dicuri. Bahkan lebih parah posisinya, bergeser pun tidak.

            “Mengapa?”. Itulah pertanyaanku hari ini yang memang sudah berkecamuk dari kemarin. Kini pertanyaan itu seolah-olah berwujud hantu yang jauh lebih menyeramkan. “Mengapa maling tidak tertarik dengan sapu tanganku?”

Si maling tadi malam lebih cerdas dan berwawasan, lebih profesional, tapi ia juga tak ingin sapu tanganku.

Pagi itu, aku memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Ku kirim WA pemberitahuan cuti ke bapak direktur. "Bos. Aku cuti hari ini. Terima kasih". Aku sudah tidak menghiraukan lagi apa jawaban dari atasanku.

Hal yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya agar aku bisa mengundang maling itu lagi ke rumahku. Dan yang terpenting, bagaimana agar dia mencuri sapu tangan itu.

Perlu Kawan tahu, jangan dikira hal ini mudah. Tak ada maling yang akan datang karena aku membuat status Whatsapp, "Hai kawan. Di rumahku ada dua kilogram emas murni. Sila berkunjung,” kecuali di film-film.

Aku memutar akal. Menimbang rencana-rencana.

Ya, sepertinya aku bertemu jawabannya ketika membeli nasi uduk di depan komplek.

Dua orang yang juga ikut mengantri menu sarapan sedang bergosip ria tentang seorang penghuni komplek yang baru saja membeli motor baru yang mahal.

“Ih. Si anu baru beli motor baru lagi, say. Gua cek di Google, itu harganya 39 juta. Padahal belum ada satu tahun dia membeli motor yang terakhir, sekarang beli yang baru lagi.”

“Iya ya. Padahal kan dia cuma hidup sendiri. Ngapain juga punya motor dua. Kurang kerjaan.”

“Mending buat mahar nikahin lu, bisa kali ya?”

“Gila lu. Gue emang janda. Tapi nggak sama berondong juga.”

Sampai di rumah, nasi uduk kukesampingkan dulu. Segera aku cek saldo salah satu rekeningku lewat ponsel android.

Tertulis: Rp60.000.000. Cukup.

Aku lalu membuka bungkus nasi uduk dan melahap isinya.

***

Sore tiba dan aku akan melakukannya.

Aku pergi ke dealer motor tak jauh dari komplek dan membeli roda dua yang lebih mahal dari milik si  “berondong”, seharga 49 juta rupiah.

Esok harinya, jam lima sore, roda dua berbodi besar yang kupesan itu datang diantar mobil pick-up.

Sengaja aku meminta diantar pada waktu tersebut karena jam-jam segitu jalanan komplek ramai. Para karyawan atau pegawai baru pulang dari tempat kerja, para remaja bermain bola dan ibu-ibu merumpi sambil menyuapi anak kecilnya makan sore.

Sebelumnya kuberi tahu sopir yang mengantar motorku agar membawa mobil pelan-pelan saja di jalan komplek karena orang komplek suka keheningan dan banyak anak-anak berkeliaran.

Lalu, kubuka aplikasi WhatsApp, tekan “archived”.

Ada grup “Warga Komplek Nyaman Asri” di situ dengan 320 pesan belum dibaca.

Kuketik di sana:

“Assalamu’alaikum. Bapak dan ibu penghuni komplek yang terhormat. Sudi kiranya besok malam selepas Maghrib menghadiri acara selamatan umrah di rumah saya. Terima kasih.”

Tidak selang berapa lama, kira-kira ada 15 pesan masuk yang berisi jawaban salam, penyanggupan kalau akan hadir besok, serta ucapan doa-doa semoga umrahku lancar.

***

Azan maghrib mulai berkumandang, suaranya masuk ke sisi-sisi rumah para penghuni komplek tepat setelah mobil box catering selesai mengantarkan pesananku.

Dua puluh lima menit setelahnya, sehabis wirid bakda sholat, para jamaah sholat maghrib datang berduyun-duyun. Yang ibu-ibu kebanyakan berangkat dari rumahnya masing-masing. Ada juga bocah-bocah.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik. Terima kasih sudah berkenan datang. Saya mohon doa agar ibadah umrah saya dilancarkan dan diberkahi. Besok lusa berangkat,” ujarku memulai acara.

Prosesi selamatan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan zikir, ayat-ayat kitab suci, dan doa-doa. Semua dipimpin oleh imam masjid. Setelah selesai, aku dibantu oleh dua-tiga pemuda komplek mengedarkan nasi kotak ke setiap yang hadir.

“Umrah pertama, nak?” tanya Haji Rokhib.

Eh? Aku bingung menjawabnya. Iya, aku sudah pernah umrah. Tapi bagaimana menjawab soal ini?

“Iya, Pak.” Kata-kata itu meluncur saja.

“Semoga perjalanan umrahnya lancar, Nak.”

Acara kemudian dilanjutkan oleh ngobrol-ngobrol sebentar antar yang hadir. Lalu, azan isya berkumandang, memutus setiap obrolan. Semuanya diam dalam kesunyian masing-masing sembari menjawab setiap bait azan.

Persis dua detik setelah azan berhenti, seorang dari yang hadir berseru, “Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad!”. Para hadirin hampir serentak menjawab, “Allahumma sholli ‘alaih!”.

Mereka berdiri dan bergantian keluar melangkah dari pintu rumah. Sebagian dari mereka menyalamiku, menyampaikan doa-doa. Ada pula yang menitipkan secarik kertas, memintaku untuk membacakan hajat-hajat mereka di tempat yang mustajab di doa kota suci.

****

Dua hari kemudian.

Di dalam kamar sempit sebuah penginapan seratus ribuan, aku menyalakan laptop yang kupinjam dari seorang teman. Kubuka situs penyedia jasa keamanan, mengetikkan alamat surel dan kata sandi, lalu mengklik bagian “CCTV”.

Di layar laptop sekarang terpampang pemandangan bagian-bagian yang ada di rumahku: depan rumah, ruang tengah, dan garasi.

Tampak di dalam garasi, sebuah motor yang baru kubeli itu. Sangat gagah. Masih dibungkus plastik. Kontras sekali dengan motor lamaku (ya, sesuatu akan terlihat lebih buruk hanya saat kita membandingkannya).

Sementara di ruang tengah, tepatnya di dalam sebuah laci besar, aku telah menempatkan sebuah brankas yang telah dikunci. 

Rencana-rencana ini telah kubangun dan tak mungkin gagal. Aku akan memastikan maling itu, atau siapapun malingnya, tak bersikap kurang ajar lagi.          

Hari pertama berlalu dan tak ada siapapun yang datang.

Hari berikutnya, tak ada juga. Hanya seorang kucing yang mengendus-ngendus pintu rumah.

Hari ketiga. Aku terbangun jam dua malam dan tidak bisa langsung melanjutkan tidur lagi karena ada beberapa sentimeter atau desimeter kubik air yang hendak tumpah dari tubuhku. Maksudku, air kencing.

Yang ditunggu akhirnya datang juga.

Setelah aku selesai buang air kecil, kulihat pemandangan yang berbeda di layar laptop. Ada sesosok berpakaian hitam, berkupluk hitam, bermasker hitam, sedang mengutak-ngatik lubang kunci di pintu rumahku (yang juga berwarna hitam). Sungguh kebetulan, aku bisa melihat peristiwa ini secara live.

Kukira dia adalah seorang pemuda berusia awal dua puluhan (lagi-lagi aku tidak tahu apakah dia pencuri yang sama dengan kejadian pertama dan kedua).

Hanya butuh tiga-empat menit, dia berhasil membuka pintu itu.

Ia tak akan menyadari ada CCTV di tiga sudut rumah ini karena letaknya tersembunyi, kubeli mahal. Tapi aku tak sanggup membeli CCTV dengan fitur lebih baik lagi, yang juga bisa merekam suara.

Si pencuri ini gerakannya cukup cepat. Tentu ia tidak khawatir akan membangunkan siapapun di rumah ini karena ia telah tahu bahwa penghuninya yang hidup sendiri sedang “berangkat umrah”. Aku sendiri yang mengumumkannya, termasuk kabar bahwa ada motor baru di rumah ini yang harganya nyaris 50 juta rupiah.

Dua menit kemudian, dia berhasil membuka pintu garasi. Aku bisa merasakan pencuri itu tersenyum licik saat melihat kendaraan mewah di depannya. Oh, andai saja, andai dia mengetahui bahwa aku menyaksikan seluruh perbuatannya dan bahwa dia akan terjebak di dalam sebuah muslihat.

“Bocil” itu tidak serta merta membobol kunci motor sementara dia tidak diburu-buru oleh keadaan apapun. Malam pun masih teramat panjang.

Ia lalu keluar dari garasi dan kembali ke dalam rumah. Ia mengedarkan pandangan ke sudut-sudut rumah untuk mencari sesuatu.

Pertama ia ke kamarku dan sepertinya membuka laci-laci yang ada di sana (aku tak bisa melihatnya karena tidak ada CCTV disitu). Ia keluar tanpa membawa apapun. Nihil. “Bukan di situ, sobat!” seruku dari sini.

Maling itu menggaruk-garuk kepalanya. Lantas ia melihat lemari buku-bukuku. Di sana ada map-map yang menarik perhatiannya. Ia membuka berkas-berkas itu dengan gerakan cukup cepat. Lima menit, ia tak menemukan yang dicarinya.

“Ayo. Sedikit lagi!”. Aku tak sabaran.

Nah. Dia sekarang menuju laci besar itu! Hahaha! Satu, dua, tiga. Kurasakan ia sumringah tetapi sekaligus kaget ketika melihat brankas itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya lagi. Terdiam sebentar, lantas menarik ponsel dari kantongnya.

“Mau apa kamu? Buka WikiHow?” batinku. “Ayolah, kukira kamu maling yang pintar!”

Oh, tidak. Dia menelepon seseorang. Mungkin teman pencurinya.

Seseorang yang diteleponnya itu seperti memberikan tutiorial kepada si maling. Sepuluh. Lima belas menit. Ia belum berhasil membobol brankas menggunakan beberapa alat yang ia bawa di tas kecil.

Ia tentu cukup pintar untuk tidak membawa saja brankas itu dan lalu membongkarnya dengan pelan dan teliti di tempat yang aman, atau membawanya ke seorang ahli. Ia membutuhkan kunci motor yang asli agar kondisi motor tidak meninggalkan bekas, tetap seperti baru. Harganya tentu beda. Apalagi kalau dokumen-dokumen kendaraan juga berada di “kotak hitam” itu.

            Tapi, aku gembira. Aku memang mengharapkan ia berhasil membongkar brankas itu, tapi tidak dengan cara yang sat-set-sat-set. Kesusahan akan menghasilkan penghargaan. Orang-orang cenderung tidak menghargai apa yang didapatnya dengan mudah.

Sepertinya akan lama. Perutku lapar. Aku memesan makanan secara daring.

Tiga puluh menit kemudian, seperti perkiraanku, ia memang belum berhasil membobol brankas. Ponsel bergetar. Aku turun ke lobi penginapan untuk mengambil paket nasi dan ayam tepung plus minuman ringan.

Setelah mencuci tangan, aku mulai menyantap makanan cepat saji ini.

Laki-laki itu berhenti. Ia lalu duduk dengan kaki yang diselonjorkan dan tangan menopang tubuh di sisi kiri dan kanan. “Lelah ya?” bisikku, seolah-olah dia bisa mendengar.

Ayam drumstick ini sudah habis. Untunglah paket yang kupesan berisi dua potong ayam. Kini aku mulai menyantap nasi yang tersisa dengan potongan sayap.

Mulutku terasa terlalu berminyak. Saatnya menyedot minuman ringan bersoda ini. Segar.

Wajahku kembali menatap layar laptop dan mendapati lelaki itu sudah lenyap. Aku sedikit panik karena ia tidak bisa dilihat lewat tiga kamera CCTV.

Ternyata ia keluar dari arah dapur membawa botol kaca besar yang berisi air dingin. Pencuri itu menegaknya langsung dari botol tanpa menyentuhkan bibirnya ke mulut botol. Tentu tak kalah segar dengan soft drink ini meski rasanya hambar.

Baiklah maling, kau sudah minum. Aku juga sudah minum. Mari lanjutkan usahamu!

Ia mengelus-ngelus brankas itu, juga memukul-mukulnya seperti rebana. Kemudian kembali ke posisi membongkar brankas. Ia tak menelepon, kali ini ia menonton sesuatu di ponselnya. Apa ia membuka Youtube?

Sepertinya iya. Ponselnya dalam posisi landscape.

Sepuluh menit. Ia berhenti nge-Youtube. Lalu mengutak-ngutik brankas lagi.

Sepuluh menit lainnya berlalu. Ia menyentuh layar ponsel lagi. Lagi-lagi sepuluh menit berlalu. Ia kembali mengutak-atik brankas.

Lalu nonton Youtube lagi selama sepuluh menit. Dan… kembali mencoba membobol brankas.

Tiba-tiba maling itu meloncat-loncat. Tangannya memukul-mukul angkasa. Aku bisa “mendengar” ia bersorak-sorai di sana.

Pintu brankas itu terbuka.

Jantungku berdegup kencang. Maling itu sekali lagi mengepalkan tangannya, dan menggerak-gerakannya. Selebrasi.

Lalu ia melihat isi brankas itu. Sebuah kotak biru terbuat dari kardus premium telah kuletakkan di sana. Ia menarik kotak itu dan membukanya.

Ia menarik barang berharga dari kotak itu. Disentuh-sentuhnya sebentar. Dan “buuuk”! Kardus hitam itu dibantingnya. Sapu tangan itu dilemparnya, melayang, terjatuh tak jauh dari kakinya.

“Babi! Babi!” ia mendesiskan sumpah serapah, “Bajingaaaaaan!”

Aku tak bisa mendengar ia mengucapkan kata-kata yang tak layak untuk cerpen anak-anak itu.

Tapi di sini, aku juga meluncurkan kutukan untuk maling itu, yang ia juga tak bisa dengar.

“Maling tolol! Maling tolol!” kataku. Aku membanting kotak kertas yang berisi tulang ayam dan sisa saus, dan tak sengaja menyenggol gelas kertas yang masih berisi setengah minuman bersoda, membanjiri celanaku.

“Tolol!”

Aku marah dan sekaligus begitu kecewa. Muslihatku gagal. Adalah satu jam di malam itu aku duduk terdiam bersandarkan dinding kasur. Mengingatnya.

Mengingat kalimat pertama yang ia ucapkan. Aku hafal satu per satu kata dari apa yang ia ucapkan.

Ia duduk di depanku, di kereta kelas bawah murah meriah yang membawaku dari Jakarta menuju Pasuruan.

“Maaf Mas, kaos sampean terbalik.”

Tiga menit ia duduk di situ, setelah merapikan bawaan dan mematut-matut posisi duduk, dan menatapku sebentar, lalu diucapkannya kalimat itu.

 Yang terjadi berikutnya adalah percakapan-percakapan yang tiada habisnya. Ternyata ia adalah aktris spesial di ibu kota, spesialisasinya pemeran dengan bagian kecil —tak pernah lebih dari lima dialog. Ia sekarang dalam perjalanan pulang ke salah satu kota di Jawa Timur, kampung halamannya, karena pemerintah kota setempat sedang mengadakan casting terbuka untuk film yang akan dibuat —khusus “akamsi”.

Kukatakan padanya bahwa proyek film oleh pemerintah daerah pasti bukanlah film yang muluk-muluk.

Si perempuan berseloroh, “Maksud kau bukan film yang muluk-muluk itu artinya film yang jelek, ‘kan?”

Lalu dia bilang kalau maksud utamanya hanya ingin menjadi aktris utama saja, dikesampingkannya mimpi-mimpi ingin menjadi aktris utama dengan karakter yang kuat seperti para pemenang Academy Awards atau minimal Piala Citra. Berbekal curriculum vitae pernah punya beberapa dialog di hampir dua puluh film layar lebar, ia yakin akan ditunjuk menjadi pemeran utama.

“Aku cukup cantik, ‘kan? Bagaimana menurutmu?”

Aku tidak siap dengan dengan pertanyaan itu, salah tingkah, dan tiba-tiba bersin. Tanganku berlumur dahak karena menghalangi mulut.

“Hahahaha! Gitu aja salting, lo!” katanya. Dia mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah sapu tangan. “Ini emang bekas ingus gue. Tapi udah gue cuci bersih kok. Buat lu aja. Gue punya banyak!”

Aku mengambil sapu tangan itu dan melanjutkan perbincangan soal hantu-hantu di Semarang —kereta kami baru saja melewati Stasiun Semarang Poncol.

Ia pernah syuting film horor di Semarang. “Itu adalah satu dari dua film yang aku dikategorikan sebagai pemeran pendukung. Masuk kredit! Dan ada belasan dialog yang aku ucapkan! Tapi sayang filmnya nggak laku, hahaha. Film horor Indonesia dua belas tahun yang lalu, tahu ‘kan bagaimana kualitasnya?”

Tak selang berapa lama dari percakapan terakhir tadi, aku sudah tidak mengingat percakapan apa-apa lagi. Tertidur. Ketika bangun, aku mendapati kursi di depan kosong. Stasiun yang ia mestinya turun di situ, sudah lewat.

Dalam hari-hari kemudian, aku menelusuri film horor yang berlatar belakang Semarang, rilis dua belas tahun yang lalu. Nihil. Film yang dimaksud tak kutemukan. Dalam dua tahun terakhir ini, aku juga memaksa diri lebih banyak menonton film-film Indonesia (sangat sedikit film Indonesia yang kulewatkan) yang lama dan yang baru, dan tak pernah kulihat sosoknya muncul di antara film-film itu. Tak ada juga namanya, Elya Sufina, muncul di kredit.

Apakah ia benar-benar aktor? Atau telah meng-aktor-kan dirinya di sepanjang perjalanan kereta itu?

Film proyek pemerintah kota itu juga aku search, hanya ada beberapa informasi awal soal rencana pembuatan film. Dan sampai kini, tak pernah ada kabar apa-apa lagi di internet. Aku mafhum kalau soal ini.

Bersama perasaan-perasaan yang tak kunjung reda, hanya sapu tangan itu yang tersisa dari dirinya. Kucuci pun jarang sekali karena khawatir air dan detergen akan melunturkan sisa-sisa kenangan yang melekat, yang tak pernah dan mungkin tak akan dipahami si maling yang tolol itu.

SAJAK