Antara
-ku dan -mu
Suyat Aslah
Keyakinanku, terakhir
kali aku membaca wajahmu waktu kau duduk di sebuah halte yang terletak di dekat
perempatan jalan sekitar dua kilometer dari terminal kota Cilacap. Dua tahun
sebelum halte itu dipugar lebih rapi. Waktu itu masih ada sebuah tiang lampu
masih miring, pohon entah apa namanya berdiri kokoh di pinggir jalan, daunnya lebat
memayungi atap halte yang sebagian telah lumat oleh waktu. Bulir hujan yang
jatuh ke daun akan turun ke daun yang lebih rendah, begitu seterusnya sampai
menaburkan tetesan air itu di atap halte. Ada juga yang lolos sampai ke
kepalaku. Waktu itu kupikir ada alasan aku berpindah duduk lebih dekat denganmu,
karena di situlah tempatmu lebih teduh.
Lalu kau mengubah
arah posisi dudukmu menghadap hampir membelakangiku. Aku bermain tafsir waktu
itu. Mungkin kau malu, atau bahkan terganggu. Tapi aku mencoba tak terlalu
cepat pada kesimpulan. Saat sebuah bus melintas, pandangan matamu mengikuti ke
mana arah kendaraan itu melaju. Dalam posisi seperti itu, aku sempat melihat tahi
lalat kecil berdiam di bawah mata kirimu, sebelum pada akhirnya kau kembali
hampir menghadap membelakangiku. Namun saat jeda makin panjang dan tak ada
percakapan sama sekali, kupikir itu malah jadi terasa aneh dan makin menjaraki
kita. Sebelum aku berucap tanya padamu, aku mencium segurat harum dari
rambutmu.
“Ke mana tujuanmu?”
tanyaku.
“Hanya menyusuri
jalan ini, ke arah sana,” jawabmu sedikit berjeda sambil tanganmu menuding.
Gestur dan
detonasi katamu cukup mendukung penafsiranku bahwa kau tak baik-baik saja. Sementara
aku tak tahu harus berkata apa lagi. Dua jenak kemudian ponselku bergetar
singkat, itu nada pesan masuk. Kubuka dan kubaca dalam hati.
“Dia bilang akan
berangkat pukul tujuh.” Windy yang mengirim.
Aku tahu siapa
yang dia maksud. Berangkat dari sebuah keresahanku, beberapa kalimat langsung
mengalir dalam kepalaku, lalu jempolku melakukan tugasnya menekan-nekan layar
ponselku.
“Seperti apa sorot
matanya? Apa pandangannya termasuk jenis milik orang baik-baik?” balasku.
Lalu sambil
menunggu balasan, bayangan tereka dalam kepalaku. Aku benar-benar tak tahu
siapa perempuan yang akan kutemui di rumah Windy. Sementara Windy hanya pernah
sekali bertemu perempuan itu. Perempuan yang ingin menemuiku hari ini. Lalu saat
aku kembali mencium harum rambutmu karena angin berembus ke arah cuping
hidungku, itu membuat perhatianku kembali padamu.
“Kau dari mana?”
tanyaku lagi.
“Dari jalan yang
penuh dengan mobil-mobil tamu undangan pernikahan, itu membuatnya macet,”
jawabmu.
Aku manggut saja. Jalan
Juanda sering kali macet saat gedung dengan pelataran luas disewa oleh orang
berduit banyak untuk acara pernikahan. Gedung itu ada di belakang kita dan
terpisahkan oleh jalur kereta. Lalu sebuah pesan masuk lagi ke ponselku dan
kubaca dengan teliti dalam hati, “Kau akan terkejut nanti, dia sangat manis.”
Aku tak langsung
membalasnya. Hingga pesan berikutnya masuk lagi ke ponselku “Perempuan itu mengaku
suka membaca tulisan-tulisanmu. Bahkan dia mengatakan salah satu tulisanmu seolah
sedang berbicara dengannya.”
“Kau tak tanyakan
namanya?” balasku.
“Aku melupakan
itu,” balasnya.
Aku menggeragapi tiap
jengkal kamus ingatan dalam kepalaku. Tentang tiap wajah-wajah perempuan yang
pernah kutemui sepanjang hidupku. Namun tak ada yang kutemukan terkait
perempuan itu. Bahkan aku sempat menganggap dia tidak benar-benar ada, hanya
lelucon yang dibuat Windy belaka. Windy memang terkadang suka membuat lelucon
yang bahkan sulit untuk diambil tawanya.
Tak lama kemudian kau
beranjak dari dudukmu saat bus mendengus di depan kita duduk. Saat itu kuingat apa
yang ada padamu: rambut hitam sepundak, rok panjang yang longgar, baju atasan
berlengan panjang serta tas jinjing tak terlalu besar yang kaupegang.
Setelah itu aku
tak melihatmu lagi. Windy terus menghubungiku dengan pesan-pesannya yang
sesekali ada beberapa kata disingkat pendek. Lalu karena sibuk membalasi
pesannya, aku mulai lupa padamu. Entah sampai mana sudah melaju dengan bus yang
kautumpangi.
“Katanya kau
pernah menuliskan dalam ceritamu, tubuhnya beraroma karpet basah.”
Pesan Windy kali
ini membuatku membuka kembali lembaran masa lalu. Sementara aku punya kelemahan
dalam hal ingatan. Apalagi sesuatu yang bertahun-tahun jauh di belakang. Seperti
membongkari reruntuhan sejarah yang sebagian telah berjelaga.
“Ada lagi yang dia
bilang?” tanyaku.
“Jaketnya berwarna
hijau lumut dan rambutnya yang bau tergerai di belakang lehernya,” balas Windy.
Sebuah memori melintas
dalam kepalaku. Tentang sosok perempuan pelintas zaman yang tak pernah kutahu arah
dan tujuannya. Sendirian dengan segala pertengkaran dalam kepalanya. Teriakan
demi teriakan keluar dari mulutnya di setiap tempat dan sepanjang jalan. Aku
mengingatnya sekarang. Pernah menuliskan tentangnya, dan kunamai dia Amelia.
“Kau yakin dia
baik-baik saja?” Tanyaku sedikit terbawa suasana yang baru.
“Ya. Tapi dia
lebih banyak mendengarkan daripada bicara.” Windy masih terus menjawabi
pertanyaanku.
Tiba-tiba muncul
rasa entah yang cukup mengganggu pikiranku. Sudah pasti aku tak bisa
menjelaskan seutuhnya tentang seseorang. Cerita yang kutulis bisa saja mengerat
hatinya tanpa kutahu.
Lalu bus yang
kutunggu, mendengus di depanku. Aku menaikinya sambil masih memegang ponsel di
tanganku. Pikiranku juga tetap membayang tentang Amelia. Nama yang kuciptakan sendiri.
Dan tak ada pesan dari Windy lagi hingga bus yang kutumpangi sampai ke jalan
dekat stasiun Maos. Saat itu kulihat Windy berdiri di pinggir jalan sambil seperti
memanjangkan lehernya melihat ke arah bus yang akan berhenti, kuyakin dia
sedang menunggu kedatanganku. Kemudian dia benar-benar melihatku saat aku turun
dari bus. Tampak dari raut wajahnya sangat antusias, seakan ingin segera memulai
percakapan denganku.
“Kau kesulitan
mendapatkan bus?” tanya Windy saat aku masih berjalan beberapa meter
mendekatinya.
“Tidak juga. Hanya
perlu menunggu sebentar,” jawabku.
Lalu kita berjalan
kaki sekitar lima puluh meter melewati jalan setapak, dan terlihatlah tubuh
bangunan yang didominasi dengan warna putih tulang. Windy mengajakku duduk di
kursi depan rumah. Sambil menunggu perempuan itu datang, kita bercakap tentang
apa saja, tapi topik utama tetaplah perempuan itu. Jika menimbang waktu, mungkin
dia tak lama lagi bakal sampai.
Namun sampai cukup
lama menunggu, seperti tak ada isyarat akan kedatangannya. Kita sempat berpikir
mungkin dia salah jalan. Windy bilang perempuan itu tak punya ponsel atau
apapun yang bisa dihubungi, bahkan Windy pun lupa untuk menanyakan alamat rumahnya.
Sebagai penulis,
pikiranku terbiasa melayang ke mana-mana. Dia adalah Amelia yang dulu tak
mengenali diri sendiri. Merayapi muka bumi yang penuh tatapan mata menghakimi.
Pertemuan dengannya pertama kali saat kita menaiki bus yang sama. Dia memakai jaket
berwarna hijau lumut dan sebuah rantai masih memborgol kakinya. Namun kali ini anganku
beralih tiba-tiba, hinggap pada peristiwa di halte sebelumnya. Seorang
perempuan dengan rambut hitam sepundak, rok panjang yang longgar, baju atasan
berlengan panjang serta tas jinjing tak terlalu besar yang dia bawa. Dia
menaiki bus entah tujuan mana. Lalu sebuah pertanyaan besar menggantung tiba-tiba
dalam kepalaku. Sebelum aku menanyakannya pada Windy, dia lebih dulu mengatakan
sesuatu.
“Dia benar-benar manis kautahu? Sebuah tahi lalat kecil berdiam di bawah matanya yang coklat basah,” katanya.*